Revisi UU Bea Meterai Disetujui Jadi UU, Transaksi di Bawah Rp5 Juta Bebas Meterai
Berita

Revisi UU Bea Meterai Disetujui Jadi UU, Transaksi di Bawah Rp5 Juta Bebas Meterai

Revisi UU Bea Meterai diperlukan untuk mengikuti perkembangan zaman.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Ketiga, saat terutang. Bea meterai dibutuhkan saat dokumen dibubuhi Tanda Tangan (surat perjanjian, akta Notaris, dan akta PPAT), saat dokumen selesai dibuat (surat berharga & dokumen transaksi surat berharga termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka), saat dokumen diserahkan kepada pihak untuk Siapa Dokumen dibuat (surat keterangan/pernyataan/surat lain yang sejenis, dokumen lelang, dan surat yang menyatakan jumlah uang), saat dokumen diajukan ke pengadilan (dokumen yang digunakan sebagai alat bukti), dan saat dokumen digunakan di Indonesia (untuk dokumen perdata yang dibuat di luar negeri).

Keempat, subjek atau pihak yang terutang. Pihak Terutang dimaksud adalah dokumen yang dibuat sepihak, terutang oleh pihak yang menerima Dokumen (Kuitansi), dokumen yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, terutang oleh masing-masing pihak (Perjanjian), dokumen berupa surat berharga terutang oleh pihak yang menerbitkan surat berharga, dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan, Bea Meterai terutang oleh pihak yang mengajukan dokumen, dan dokumen yang dibuat di luar negeri dan digunakan di Indonesia, di mana Bea Meterainya terutang oleh pihak yang menerima manfaat atas dokumen. Selain itu, RUU ini juga turut mengatur Pemungut Bea Meterai seperti perbankan dan retail.

Kelima, cara membayar. Untuk jenis meterai yakni meterai tempel, meterai elektronik dan meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri (wajib memperoleh izin) seperti meterai yang dibuat dengan mesin teraan, meterai digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya.

Kemudian untuk surat setoran pajak, pemeteraian juga berlaku untuk dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar; dan/atau dokumen sebagai alat bukti.

Keenam, sanksi. Berlaku sanksi denda 100% dari Bea Meterai kurang bayar, dan sanksi Pidana atas meniru/memalsu meterai, termasuk meterai elektronik/meterai dalam bentuk lain, menghilangkan tanda meterai tidak dapat dipakai lagi (rekondisi), dan memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan meterai palsu/rekondisi.

Ketujuh, fasilitas. Adanya pembebasan bea materai untuk dokumen terkait dengan penanganan bencana alam nasional, dokumen terkait kegiatan sosial dan keagamaan, dokumen terkait pelaksanaan program pemerintah dan/atau kebijakan lembaga moneter atau jasa keuangan, dan dokumen terkait pelaksanaan perjanjian internasional.

“Adanya kondisi sehingga masyarakat membutuhkan pembebasan Bea Meterai. Kemudian perlunya ukuran yang jelas mengenai syarat pemberian fasilitas pembebasan Bea Meterai., fasilitas pembebasan dalam Undang-Undanng, dan Bea Meterai harus selaras dengan undang-undang Lainnya,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Rapat Paripurna DPR secara resmi menyetujui Revisi Undang-Undang Bea Meterai sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985. Payung hukum baru ini akan memberlakukan satu tarif meterai, yakni Rp 10.000 per lembar menggantikan tarif yang berlaku saat ini yakni Rp 3.000 dan Rp 6.000. Tak hanya itu, batas minimum dokuman yang dikenakan bea meterai juga meningkat menjadi Rp 5 juta, baik untuk dokumen dalam bentuk kertas dan dokumen digital.

Membacakan hasil Pembahasan Tingkat II, Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto menyebut bahwa setidaknya terdapat 12 Bab dan 32 Pasal dalam payung hukum baru tersebut. Tercatat dari 9 Fraksi, hanya Fraksi PKS yang menolak adanya RUU Bea Meterai. Sebab, Fraksi PKS menilai kenaikan bea meterai berpotensi semakin melemahkan daya beli masyarakat dan menjadi beban baru bagi perekonomian, terutama saat ini kondisinya mengalami kelesuan akibat pandemi Covid-19.

“Komisi XI menetapkan pengambilan keputusan tingkat I dalam rapat kerja bersama Pemerintah yang telah dilaksanakan pada 3 September 2020. Berdasarkan pendapat akhir mini yang disampai Fraksi di DPR, sebanyak 8 Fraksi yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP menyetujui, sedangkan Fraksi PKS menolak hasil pembahasan tersebut,” kata Dito seperti dikutip dari laman dpr.go.id saat membacakan laporan di hadapan Rapat Paripurna, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (29/9).  

Tags:

Berita Terkait