Ridwan Kamil: Jawa Barat Tetap Patuh PP Pengupahan
Terbaru

Ridwan Kamil: Jawa Barat Tetap Patuh PP Pengupahan

Gubernur Jawa Barat tidak akan mengoreksi upah minimum tahun 2022 yang sudah ditetapkan. Tapi menawarkan skema kenaikan upah minimum berkisar 3-5 persen untuk buruh dengan masa kerja di atas setahun.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Serikat buruh di berbagai daerah hingga saat ini terus menyuarakan agar gubernur merevisi kenaikan upah minimum tahun 2022 baik itu upah minimum provinsi (UMP) maupun upah minimum kabupaten/kota (UMK). Setelah berhasil mendorong Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi upah minimum, kalangan buruh mendorong masing-masing gubernur di setiap provinsi untuk menempuh kebijakan yang sama yakni merevisi UMP dan UMK. Salah satu yang didorong untuk merevisi upah minimum adalah Gubernur Jawa Barat.  

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mengaku sudah 3 kali menerima perwakilan buruh. Dari hasil pertemuan itu, kesimpulannya dia menegaskan Provinsi Jawa Barat tetap patuh pada PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Menurutnya, kewenangan gubernur di daerah lain tidak punya kewenangan, seperti Gubernur DKI Jakarta yang bisa mengoreksi upah minimum. Itu karena Jakarta tidak memiliki bupati/walikota, seperti wilayah lainnya.

Gubernur tidak bisa mengoreksi upah minimum jika tidak ada perubahan yang diusulkan bupati/walikota. “Gubernur di luar Jakarta kewenangannya seperti kantor pos, stempel saja, mengirim, menetapkan atau tidak menetapkan. Jadi tidak ada kewenangan mengoreksi kalau surat bupati/waliokota tidak ada perubahan. Sampai saat ini surat bupati/walikota sesuai PP Pengupahan,” kata Ridwan Kamil usai menemui perwakilan buruh di kota Bandung, sebagaimana rekaman video yang diterima Hukumonline, Rabu (29/12/2021).

Ridwan berpendapat PP No.36 Tahun 2021 hanya mengatur 5 persen buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Sedangkan 95 persen buruh masa kerjanya di atas 1 tahun dan kenaikan upahnya bisa dinegosiasikan dengan pengusaha. Dia menawarkan kenaikan upah untuk buruh dengan pengalaman kerja di atas 1 tahun besarannya 3,27-5 persen. (Baca Juga: Akademisi: Revisi UMP Jakarta 2022 Sejalan Putusan MK)

Dia menerangkan surat dari Apindo pada intinya kalangan pengusaha mau mengikuti kenaikan upah buruh yang masa kerjanya di atas 1 tahun. “Jadi ada kenaikan 5 persen untuk buruh dia atas 1 tahun. Tapi bagi buruh yang masa kerjanya kurang dari 1 tahun, kami mengikuti arahan pemerintah pusat sebagaimana PP No.36 Tahun 2021,” ujarnya.

Presiden KSPI, Said Iqbal, memerintahkan kepada seluruh anggotanya terutama yang berada di wilayah Jawa Barat untuk menolak usulan Ridwan Kamil. Dia menyebut sedikitnya 4 alasan menolak usulan tersebut. Pertama, usulan itu menghilangkan hak berunding serikat buruh dalam kenaikan upah berkala tahunan di perusahaan. Kedua, kebijakan menaikan upah bagi buruh di atas setahun tidak ada dasar hukumnya. Gubernur hanya berwenang untuk menetapkan UMP, UMSP, UMK dan UMSK.

Ketiga, usulan ini merugikan buruh karena memicu perusahaan yang mampu menaikan upah lebih tinggi malah menggunakan kebijakan Gubernur Jawa Barat. Keempat, kebijakan Ridwan Kamil dinilai sebagai politisasi untuk menghindari demonstrasi buruh Jawa Barat yang menuntut revisi upah minimum sektoral kabupaten/kota. “Usulan kebijakan itu tidak ada dasar hukum, ekonomi, dan rasa keadilan,” ujarnya.

Iqbal menginstruksikan anggotanya untuk melanjutkan perjuangan mendorong revisi UMK di seluruh wilayah Jawa Barat. Selain gubernur, desakan itu juga dialamatkan kepada bupati/walikota untuk menerbitkan rekomendasi kenaikan UMK masing-masing, seperti nilai awal yang pernah direkomendasikan sebelumnya kepada gubernur.

“Kenaikan upah berkala bagi pekerja diatas 1 tahun harus berdasarkan perundingan serikat pekerja dengan perusahaan, bukan ditentukan oleh Gubernur Jawa Barat yang hanya menarik kenaikannya diantara kisaran 3%-5%, ini jelas melanggar UU,” imbuhnya.

Sebelumnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai kebijakan Gubernur Jakarta merevisi kenaikan UMP tahun 2022 itu konstitusional dan sejalan dengan putusan MK. Dia mengingatkan amar keenam putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 menyatakan pasal-pasal atau materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali (menangguhkan kebijakan strategis dan meluas).   

Mengacu amar tersebut, maka pengaturan pengupahan tidak lagi menggunakan UU No.11 Tahun 2020 dan turunannya yakni PP No.36 Tahun 2021. Tapi kembali pada aturan sebelumnya yakni UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. “Putusan MK memerintahkan untuk kembali pada peraturan yang lama, termasuk soal ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 89 UU No.13 Tahun 2003, Gubernur berwenang mengatur upah minimum,” kata Feri Amsari ketika dihubungi Selasa (28/12/2021). (Baca Juga: Begini Bunyi Kepgub DKI Jakarta Tentang Revisi UMP 2022)

Dalam diskusi yang diselenggarakan stasiun televisi nasional, Feri mengatakan pemerintah dan pengusaha mengacu amar keempat putusan MK yang menyatakan UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan itu. Tapi pemerintah lupa amar putusan yang lain seperti amar ketiga yang tegas menyatakan UU No.11 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat).

Menurut Feri, langkah Gubernur DKI Jakarta merevisi UMP tahun 2022 mempunyai legal standing sebagaimana amar keenam putusan MK. Karena itu Gubernur Jakarta memiliki kewenangan untuk mengatur upah minimum sebagaimana UU No.13 Tahun 2003 dan PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.  

Untuk itu, tidak perlu khawatir sekalipun kebijakan ini nanti digugat ke PTUN. Gubernur di wilayah lain bakal melakukan hal yang sama yakni merevisi kenaikan upah minimum sebagai hal yang konstitusional. “Keputusan merevisi kenaikan upah minimum ini sejalan putusan MK. Secara konstitusional ini langkah yang paling tepat,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait