Sejumlah Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Atasi Persoalan Karhutla
Berita

Sejumlah Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Atasi Persoalan Karhutla

Pemerintah harus melaksanakan Inpres 3/2020 secara akuntabel dan melibatkan masyarakat dengan indikator capaian yang jelas, disertai laporan yang dirilis ke publik.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Perlindungan ekosistem gambut mendesak dijalankan agar terhindar dari kebakaran lahan. Foto: MYS
Perlindungan ekosistem gambut mendesak dijalankan agar terhindar dari kebakaran lahan. Foto: MYS

Peristiwa kebakaran hutan di sejumlah titik wilayah di Indonesia masih saja terjadi setiap tahunnya. Beragam upaya kebijakan dan langkah telah ditempuh pemerintah untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) telah dilakukan. Meskipun Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan agar seluruh instrumen negara bergerak, tapi sayangnya masih terdapat inkonsisten kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.  

Deputi Direktur Bidang Program dan Kepala Divisi Tata Kelola LH dan Keadilan Iklim, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini mengatakan ada enam arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap jajaran kementerian/lembaga serta Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Hal itu menjadi pedoman untuk mencegah dan mengatasi karhutla yang terus berulang setiap tahunnya.

Tapi praktiknya masih saja terjadi peristiwa karhutla. Presiden Jokowi bahkan sempat mengancam akan mencopot jajaran Polri dan TNI yang tak mampu mengendalikan karhutla di daerahnya. Karena itu, jajaran TNI dan Polri harus bersikap tegas dan bergerak cepat mengatasi Karhutla. Kendati terdapat enam arahan pengendalian karhutla dari Presiden Jokowi, namun masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah Pemerintah yang mesti diselesaikan untuk mengatasi karhutla.

Pertama, agenda Pemerintah melalui kebijakan yang didorong melalui Inpres tidak jelas capaiannya. Menurutnya, hal tersebut dibuktikan dari laporan yang tidak disampaikan ke publik. Sejak 2015 silam terdapat Instruksi Presiden No.11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan. Namun, hingga saat ini laporan capaian Inpres tersebut tidak dibuka ke publik.

Bla ditelisik lebih jauh terdapat putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) No. 001/1/KIP-PS-A/2017. Dalam putusan itu menyatakan laporan capaian Inpres 11/2015 merupakan informasi publik yang terbuka. Dalam amar putusan tersebut, Majelis Komisi Informasi memerintahkan kepada Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkompolhukam) agar menyusun laporan pelaksanaan Inpres 11/2015 serta menyerahkan ke Presiden dan Pemohon.

“Tanpa adanya laporan pelaksanaan Inpres 11/2015 yang dibuka ke publik, tentu kita tidak dapat menilai sejauh mana capaian Pemerintah dalam mengendalikan karhutla,” ujar Grita Anindarini dalam keterangannya kepada Hukumonline beberapa waktu lalu. (Baca Juga: Melihat Pasal-Pasal Pelaku Pembakar Hutan dan Lahan)

Kedua, tak ada kewajiban pelaporan kepada publik. Presiden telah menerbitkan Inpres No. 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan (Inpres 3/2020) yang menggantikan Inpres 11/2015. Sayangnya, Perpres ini masih tak ada kewajiban pelaporan kepada publik dalam Inpres 3/2020. Menurutnya, pengkoordinasian pelaporan dilakukan oleh Sekretaris Kabinet (Seskab) langsung kepada Presiden tanpa adanya kewajiban pelaporan ke publik.

Perempuan biasa disapa Ninda itu melanjutkan sebagai evaluasi dan perbaikan semestinya ada indikator capaian yang jelas, akuntabel, disertai pelaporan yang transparan ke publik tentang sejauh mana pelaksanaan Inpres 3/2020 tersebut oleh kementerian/lembaga terkait yang ditugaskan termasuk dampak yang dihasilkannya/ditimbulkan.

Ketiga, eksekusi belum berjalan dengan baik. Penegakan hukum karhutla dinilainya belum optimal.  Bila menilik rapat kerja Komisi IV DPR dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) awal Februari 2021 lalu, setidaknya terdapat 28 gugatan. Gugatan diajukan ke KLHK dengan total nilai ganti rugi dan pemulihan yang dimenangkan sebesar Rp19,8 triliun.

Namun dari nilai kemenangan tersebut, masih ada Rp19,3 triliun yang belum dapat dieksekusi. Bagi Ninda, bila pemerintah serius menegakan hukum tanpa kompromi agar dapat memberikan dampak positif penegakan hukum, eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu harus menjadi prioritas.

“Hal ini juga didorong oleh kebutuhan mendesak untuk segera melakukan pemulihan lingkungan,” kata dia.

Keempat, terdapat beberapa instrumen hukum yang justru memperlemah penegakan hukum karhutla. Antara lain UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengatur sektor perkebunan. Menurut Ninda, dalam perubahan Pasal 67 ayat (1) UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, hanya menyebutkan, “Setiap pelaku usaha wajib memelihara kelestarian lingkungan hidup”.

Padahal, dalam rumusan aslinya terdapat ketentuan yang lebih tegas. Seperti kewajiban pelaku usaha agar memiliki Amdal, analisis risiko, serta sarana-prasarana pengendalian kebakaran. Sementara UU 11/2020 hanya menyatakan ketentuan lebih lanjut bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Masalahnya, dalam PP No.21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, tidak dijumpai ketentuan tersebut.

“Berbagai catatan tersebut tentunya perlu menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan serius oleh Pemerintah sebagai bukti komitmen menjalankan pencegahan dan pengendalian karhutla,” pintanya.

Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL, Adrianus Eryan menambahkan Pemerintah harus melaksanakan Inpres 3/2020 secara akuntabel dan melibatkan masyarakat dengan indikator capaian yang jelas, disertai laporan yang dirilis ke publik. Selain itu, Pemerintah mesti menggelar forum koordinasi dengan instansi penegak hukum terkait, seperti KLHK, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan, instansi lain yang berwenang mengurus pendanaan dan pemulihan agar dapat mempercepat proses eksekusi perkara-perkara karhutla. 

Dia menilai sekalipun terdapat ketentuan yang melemahkan penegakan hukum, Pemerintah harus tetap berpegang pada prinsip perlindungan lingkungan. “Dan kembali pada ketentuan UU organik yang mengatur kewajiban dengan lebih tegas,” harapnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam rapat koordinasi nasional pengendalian karhutla memberikan enam arahan. Pertama, memprioritaskan upaya pencegahan melalui deteksi dini, monitoring areal rawan hotspot dan pemantauan kondisi harian di lapangan. Kedua, infrastruktur monitoring dan pengawasan harus sampai bawah. Kemudian melibatkan Babinsa, Babimkamtibmas, kepala desa dalam penanganan karhutla.

Ketiga, mencari solusi permanen agar masyarakat dan korporasi membuka lahan dengan tidak membakar. Keempat, penataan ekosistem gambut dalam kawasan hidrologi gambut harus terus dilanjutkan. Kelima, tak membiarkan api membesar dan tanggap mengendalikan kobaran api agar tidak membesar (menjalar). Keenam, langkah penegakan hukum dilakukan tanpa kompromi, serta memberikan sanksi tegas agar ada efek jera.

Tags:

Berita Terkait