Simon Butt: Seharusnya Lebih Banyak Perempuan Menjadi Hakim MK
Profil

Simon Butt: Seharusnya Lebih Banyak Perempuan Menjadi Hakim MK

Pengadilan seperti MK sangat bersandar pada reputasinya di mata masyarakat. MK perlu menjaga persepsi masyarakat tentang para hakimnya.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline mendapat kesempatan untuk mewawancarai Simon secara langsung sebanyak dua kali saat ia berkunjung ke Indonesia. Wawancara terbaru berlangsung di Jakarta, Rabu (29/8). Ditemani santapan makan siang Nasi Padang lauk rendang kesukaannya, Simon berkenan menjawab berbagai pertanyaan hukumonline soal pandangannya. Segelas jus Mangga yang diberi testimoni amazing oleh Simon melengkapi perbincangan kami.

 

Pendapat Simon sebagai pengamat luar negeri tentu akan memperkaya sudut pandang untuk menjadikan MK lebih baik lagi. Simon sendiri mewanti-wanti kepada hukumonline bahwa baginya MK tetap memiliki kredibilitas tinggi. Berbagai pandangannya adalah kritik akademis sebagai seorang ilmuwan hukum yang mendalami hukum Indonesia.

 

“Saya tidak mau dianggap terlalu kritis, karena memang Mahkamah Konstitusi masih merupakan institusi penegak hukum yang bagus sekali di Indonesia. Hanya saja selalu ada masukan. Pengadilan di seluruh dunia mau tidak mau memang selalu mendapatkan masukan dari pengamat hukum,” katanya.

 

Hukumonline.com

 

Apa hal menarik yang anda amati dari perjalanan Mahkamah Konstitusi sejak berdiri di tahun 2003?

Menurut saya banyak yang menarik. Misalnya pada masa awal dipimpin Prof. Jimly Asshiddqie. Dia seorang akademisi murni, banyak menulis buku, sangat ilmiah, sangat pintar, sangat suka argumentasi, dan sangat suka mendapatkan pendapat yang berbeda-beda. Jadi kalau kita melihat selama beliau menjadi Ketua MK, hakim-hakim nampak bebas berbeda pendapat, bebas menulis apapun dalam putusan sesuai hati nurani. Membaca putusan MK seperti membaca esai dengan kualitas tinggi.

 

Seperti banyak putusan pengadilan lainnya di dunia yang bisa dikritik, putusan MK juga tidak lepas dari kritik. Namun jika melihat sejarah pengadilan di Indonesia yang sudah lama didominasi oleh Pemerintah, didikte oleh Pemerintah, terobosan dari MK pada masa awal itu sangat bermakna menurut saya.

 

Pada masa Prof. Mahfud MD, menurut saya dia bisa melanjutkan dan mengambil apa yang sudah dilakukan Prof.Jimly, membawa reputasi MK lebih maju. Putusan yang dibuat lebih berani membuat terobosan. Sayangnya sejak kasus Akil Mochtar, agak susah mengembalikan citra MK. Selain itu, sepertinya di bagian pertimbangan putusan MK menjadi lebih pendek sejak masa Akil Mochtar. Itu kesan saya saja ya, saya belum bisa membuktikan secara ilmiah.

 

Pengadilan seperti MK sangat bersandar pada reputasinya di mata masyarakat. Jika masyarakat tidak mendukung, ada bahaya yang bisa terjadi bahwa putusan MK diabaikan. Bahkan tidak hanya diabaikan masyarakat, tapi juga oleh Pemerintah.

Tags:

Berita Terkait