Sisi Gelap UU Cipta Kerja dan UU P2SK Terhadap Koperasi-UMKM
Terbaru

Sisi Gelap UU Cipta Kerja dan UU P2SK Terhadap Koperasi-UMKM

Mulai dari pencucian uang hingga bank bayangan.

Willa Wahyuni
Bacaan 2 Menit
Analis Hukum BPHN, Nanda Narendra Putra (tengah)dalam webinar berjudul Mediasi: Pendekatan Efektif dalam Penyelesaian Sengketa Koperasi dan UMKM, Kamis (22/2/2024). Foto: WIL
Analis Hukum BPHN, Nanda Narendra Putra (tengah)dalam webinar berjudul Mediasi: Pendekatan Efektif dalam Penyelesaian Sengketa Koperasi dan UMKM, Kamis (22/2/2024). Foto: WIL

Kehadiran UU No.11 Tahun 2020 jo. Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan UU No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) membawa dampak buruk tersembunyi pada usaha koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini diungkapkan oleh setelah mengevaluasi laporan selama tahun 2023 lalu.

“Entitas UMKM ini rawan dipakai sebagai kendaraan bagi praktik pencucian uang dan sarana mendapatkan tarif pajak murah,” ujar Analis Hukum BPHN, Nanda Narendra Putra dalam webinar berjudul Mediasi: Pendekatan Efektif dalam Penyelesaian Sengketa Koperasi dan UMKM, Kamis (22/2/2024).

Baca juga:

Pendapat Nanda yang mewakili BPHN berdasarkan perubahan kriteria UMKM yang semula hanya dua indikator—yaitu modal usaha dan hasil penjualan—menjadi delapan indikator—mulai dari modal usaha, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, dan jumlah tenaga kerja— dalam UU Cipta Kerja.

“Penambahan kriteria yang semula hanya dua indikator menjadi delapan indikator, bagi BPHN dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan pemerintah kepada pelaku UMKM agar semakin melebar peluang entitas usahanya. Tetapi, akan berpotensi moral hazard,” kata Nanda menegaskan.

Nanda menilai perubahan kriteria ini menarik “penumpang gelap”. Alih-alih bermanfaat untuk pelaku UMKM, justru disalahgunakan pihak yang mengaku UMKM. “Saya kira soal perubahan indikator UMKM ini perlu menjadi perhatian, karena jangan sampai insentif yang didorong untuk pelaku UMKM dimanfaatkan oleh perusahan besar yang mengaku sebagai UMKM,” lanjut Nanda.

Lebih lanjut, Nanda juga melihat beberapa perubahan pada UU P2SK yang berdampak buruk pada koperasi. Koperasi awalnya hanya mengenal jenis koperasi primer dan sekunder. Namun, Pasal 44B UU P2SK mengenalkan koperasi sektor jasa keuangan. Mekanisme pengawasan jenis baru ini tidak dilakukan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop-UKM) tetapi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Nanda menjelaskan bahwa peraturan teknis dari ketentuan baru ini memerintahkan Kemenkop-UKM dan Pemerintah Daerah melakukan pemetaan dari koperasi yang sudah ada. Pemetaan ini untuk memilah mana yang termasuk koperasi primer dan sekunder atau termasuk koperasi jasa keuangan dibawah. Masalahnya, koperasi jasa keuangan dibolehkan menyalurkan kepada pihak selain anggota. Usaha ini menjadi seolah-olah menyerupai bank. Padahal, tujuan koperasi yang dikenal selama ini adalah memberikan kesejahteraan untuk anggotanya. “Koperasi sektor jasa keuangan dapat menyalurkan kepada pihak selain anggota yang sebetulnya ini dikhawatirkan adanya shadow banking,” kata Nanda.

Shadow banking atau “bank bayangan” ini seakan berlindung di balik jati diri koperasi atas dasar kekeluargaan. Kondisi ini juga dapat dimanfaatkan sebagai celah penyelewengan. Tidak ada lembaga otonom yang melakukan pengawasan secara langsung dan hanya ada sanksi administrasi berupa pembekuan koperasi. Celah ini memanfaatkan rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia.

Tags:

Berita Terkait