Solusi Penanganan Pengungsi Etnis Rohingya
Kolom

Solusi Penanganan Pengungsi Etnis Rohingya

Merespon situasinya tidak bisa menyederhanakan sekadar mengusir balik ke Myanmar. Masih ada solusi alternatif.

Bacaan 7 Menit

Keempat, pengungsi Rohingya putus asa nyaris tanpa pilihan. Tidak banyak pilihan yang tersedia bagi para pengungsi Rohingya di pengungsian Bangladesh. Tidak sedikit yang menjadi putus asa, frustrasi, lalu berpikiran pendek. Deraan kemiskinan yang menahun, persekusi yang bertubi-tubi di Myanmar, ditambah kondisi buruk dan berbahaya di lokasi pengungsian semakin melanggengkan rasa putus asa. Mereka menjadi rentan terhadap eksploitasi kaum penyelundup manusia. Terperangkap antara setan penyelundup manusia dan lautan luas yang mengharu biru, mereka tak punya pilihan selain melaut. Tak berpikir panjang akan ke mana perahu tersebut membawanya (UNHCR, 2013).

Kelima, keterbatasan mandat lembaga-lembaga internasional. Ada beberapa lembaga internasional yang mengurusi masalah pengungsi/migrasi seperti UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) dan juga IOM (International Office for Migration). Keduanya adalah lembaga di bawah United Nations/PBB yang selama ini aktif mengurusi pengungsi/ forced migration. Namun, mandat dan wewenang dari kedua lembaga ini juga terbatas. Mereka tak sepenuhnya memiliki kewenangan—apalagi anggaran—untuk menangani seluruh urusan dan kebutuhan pengungsi. Semakin buruk apabila negara pengungsi atau negara transit tidak kooperatif untuk bersama-sama menyelesaikan urusan pengungsian ini.

Keenam, terjadi legal vacuum di Asia Tenggara. Hanya dua negara Asia Tenggga yang telah meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951 yaitu Filipina dan Kamboja. Malaysia, Indonesia bahkan Bangladesh yang menampung nyaris satu juta pengungsi Rohingya pun belum meratifikasi konvensi ini. Lebih dari itu, hampir semua negara Asia Tenggara juga belum memiliki peraturan atau hukum nasional yang mengatur urusan pengungsi.

Indonesia sedikit lebih maju dengan memiliki Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Regulasi ini bukan berupa undang-undang dan tidak mengatur seluruh urusan pengungsi. Namun, isinya menjadi jalan keluar untuk menangani para pengungsi atau pencari suaka yang memasuki Indonesia lewat jalur tidak resmi.

Ada pula forum Bali Process 2002 tentang Penyelundupan Manusia, Perdagangan Manusia, dan Kejahatan Transnasional Terkait. Forum regional ini mendukung kolaborasi, dialog, dan pengembangan kebijakan terkait migrasi tidak teratur di kawasan Asia-Pasifik dan sekitarnya. Lebih dari 50 negara dan sejumlah lembaga internasional seperti UNHCR, IOM, dan UNODC berpartisipasi dalam Bali Process. Forum ini dipimpin bersama oleh Pemerintah Indonesia dan Australia. Bali Process memiliki kerangka kerjasama regional dan beberapa kelompok kerja untuk bidang-bidang tertentu.

Terakhir, harus diakui Indonesia sudah sangat toleran. Indonesia dapat dikategorikan sebagai negeri yang toleran dengan pengungsi. Tidak saja terhadap pengungsi Rohingya, rekam jejak Indonesia tercatat sejak tahun 1979 ketika Pulau Galang (kini bagian dari Propinsi Kepulauan Riau) menjadi tempat penampungan sementara pengungsi asal Vietnam hingga tahun 1996.

Penampungan sementara pengungsi Rohingya di Aceh—bekerja sama dengan berbagai lembaga internasional dan lembaga swadaya masyarakat Indonesia—adalah bentuk toleransi dari pemerintah dan rakyat Indonesia. Hal ini tentu menarik. Faktanya Indonesia tidak memiliki undang-undang tentang pengungsi, tidak memiliki badan khusus yang menangani pengungsi, juga tidak menganggarkan khusus untuk penanganan pengungsi baik di tingkat pusat maupun daerah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait