Strategi Nasional Bisnis dan HAM Fokus pada 3 Strategi Ini
Utama

Strategi Nasional Bisnis dan HAM Fokus pada 3 Strategi Ini

Substansinya akan fokus pada 3 strategi meliputi peningkatan pemahaman tentang bisnis dan HAM; penyelarasan regulasi dan kebijakan terkait; dan mendorong akses pemulihan terhadap korban dugaan HAM akibat aktivitas bisnis.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Iman Prihandono, mengatakan sejak UNGPs terbit 2011 perkembangannya di seluruh dunia sangat pesat. Apalagi UNGPs satu-satunya instrumen yang disepakati semua anggota Dewan HAM PBB. UNGPs mendorong setiap negara membentuk rencana aksi nasional. Negara yang paling awal memiliki rencana aksi nasional Bisnis dan HAM yakni Belanda dan Jerman.

Tercatat saat ini sedikitnya ada 20 negara yang memiliki rencana aksi nasional Bisnis dan HAM, salah satunya Thailand. Selain itu, banyak juga negara yang sudah mengadopsi UNGPs dalam regulasinya, seperti di Inggris memiliki UU Perbudakan Modern dan beberapa negara yang memiliki regulasi serupa seperti Australia, Perancis, Jerman, dan Belanda.

Bahkan, beberapa negara seperti Ekuador dan Kolombia punya ide untuk meningkatkan level UNGPs agar sifatnya mengikat. Baginya, UNGPs dinilai belum cukup untuk membuat korporasi bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan. Alih-alih menggunakan istilah rencana aksi, Indonesia memilih Stranas Bisnis dan HAM. Kendati demikian upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk melaksanakan mandat UNGPs semakin baik ketimbang beberapa tahun sebelumnya.

“UNGPs itu memandatkan rencana aksi nasional, sehingga diharapkan pemerintah bisa membuat regulasi dan kebijakan untuk memastikan tidak ada pelanggaran HAM yang dilakukan korporasi,” ujar Iman mengingatkan.

Menurut Iman, dengan membentuk Stranas Bisnis dan HAM, pemerintah bisa mengetahui mana sektor bisnis yang rentan pelanggaran HAM. Kemudian mengambil langkah untuk mencegah dan menanganinya. “Agar Stranas ini bisa berjalan baik, maka harus diterima oleh pemangku kepentingan. Caranya harus ada partisipasi (publik, red) yang berarti dalam penyusunan Stranas tersebut.”

Deputi Direktur Elsam, Andi Muttaqien, mengatakan Stranas ini dibentuk agar ada standar ideal bagi operasional bisnis di masa depan. Pemerintah harus melihat apa yang menjadi prioritas untuk diselesaikan terlebih dulu karena setiap sektor bisnis perlu pendekatan yang berbeda-beda.

“Sekarang menjadi keharusan bisnis besar yang memiliki pasar internasional untuk patuh terhadap nilai-nilai HAM. Misalnya, kayu yang berasal dari Indonesia diambil secara ilegal dari hutan alam, maka tidak akan lulus uji sertifikasi dan pembeli yang memiliki komitmen HAM tidak akan membeli kayu tersebut dan ini jelas merugikan pelaku bisnis,” ujarnya.

Andi menyebutkan pihaknya sudah menyampaikan sejumlah masukan untuk Stranas Bisnis dan HAM. Misalnya, mendorong agar menerapkan standar yang memadai mengingat UNGPs sudah ada sejak 10 tahun lalu. Bahkan tren internasional saat ini mendorong agar uji tuntas HAM sifatnya wajib. “Jika standar kita lebih rendah, kami khawatir situasinya akan jauh dari perkembangan internasional saat ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait