Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit di Indonesia
Kolom

Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit di Indonesia

​​​​​​​Perlu dilakukan rekonstruksi terhadap pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit di Indonesia.

Bacaan 8 Menit

Duty of care dapat diartikan sebagai kewajiban memberikan pelayanan yang baik dan wajar. Terlaksananya kewajiban memberikan pelayanan yang baik terkait dengan berbagai hal antara lain berkaitan dengan personalianya, karena rumah sakit sebagai suatu organisasi hanya dapat bertindak melalui tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit dilakukan baik oleh tenaga kesehatan maupun bukan tenaga kesehatan. Pelayanan yang diberikan oleh personalia rumah sakit, khususnya tenaga kesehatan, harus sesuai dengan ukuran standar profesi. Rumah sakit seharusnya bertanggung jawab apabila ada pemberian pelayanan kesehatan di bawah standar yang dilakukan oleh personalianya sehingga menimbulkan akibat yang tidak diinginkan bagi pasien.

Peraturan yang terkait dengan kewajiban ini, di antaranya adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien, yang mendefinisikan keselamatan pasien sebagai suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi asessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Beberapa kelalaian rumah sakit yang terkait dengan pelaksanaan duty of care terlihat dalam putusan pengadilan di antaranya adalah Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 381/Pid.B/2014/PN.Tk, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 569/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 577/Pdt/G/2011/PN/Jkt.Bar, Putusan Pengadilan Tiniggi Jakarta Nomor 08/PDT/2013/PT.DKI, dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 779K/Pdt/2014.

Rumah sakit harus menjamin bahwa sarana prasarana yang ada berfungsi dengan baik dan kontinu. Secara garis besar sarana yang ada di rumah sakit dapat dibagi menjadi sarana non medis dan sarana medis. Sarana non medis misalnya penyediaan kamar-kamar lengkap dengan tempat tidur, kasur, penerangan, air, listrik, serta fasilitas lainnya. Sifat dan fungsi sarana non medis sangat penting karena tidak berfungsinya sarana non medis mengakibatkan terhambatnya fungsi pelayanan di rumah sakit. Sarana medis meliputi semua perlengkapan dan peralatan medis yang diperlukan di rumah sakit. Mengingat rumah sakit adalah suatu institusi yang padat sarana dan peralatan serta merupakan konsentrasi peralatan kedokteran mulai dari yang sederhana hingga yang berteknologi tinggi. Macam dan jumlah penyediaannya tergantung pada tipe rumah sakit, kecuali untuk peralatan dasar minimum yang harus tersedia di setiap rumah sakit seperti peralatan dan perlengkapan di ruang unit gawat darurat. Di Indonesia, kasus terkait dengan tanggung jawab rumah sakit terhadap sarana prasarana yang pernah menjadi perhatian masyarakat di antaranya adalah: kasus hilangnya bayi di sebuhan rumah sakit di Bandung tahun 1987, kasus tertukarnya Gas O2 dengan Gas CO2 saat dilakukannya tindakan operasi di sebuah rumah sakit di Bengkulu tahun 2001, kasus bayi D yang meninggal dunia karena tidak mendapatkan penanganan yang memadai Unit Gawat Darurat sebuah RS Jakarta Barat tahun 2017.

Tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap tenaga kesehatannya mengandung pengertian bahwa rumah sakit harus bertanggung jawab terhadap kualitas dari tenaga kesehatan yang bekerja. Hubungan hukum antara rumah sakit dengan dokter pada dasarnya terbagi menjadi dua pola, yaitu pola hubungan perburuhan di mana dokter menjadi karyawan atau pegawai tetap dari rumah sakit (biasa disebut dengan Dokter in) dan pola hubungan perjanjian atau kemitraan di mana dokter bekerja secara mandiri dan berperan sebagai mitra rumah sakit (biasa disebut dengan Dokter out). Perwujudan pola hubungan kemitraan ini di antaranya adalah Dokter Part Timer; Visiting Dokter atau Dokter Tamu; Dokter yang bekerja secara full timer di suatu rumah sakit, tetapi bukan merupakan pegawai tetap rumah sakit. Apapun bentuk pola hubungan antara dokter dan rumah sakit, dokter merupakan profesi yang mempunyai kemandirian dan independensi dalam melaksanakan profesi serta menerapkan keilmuannya.

Mayoritas masyarakat Indonesia mengasumsikan bahwa kegagalan tindakan medis merupakan malpraktik dan bahkan mempersamakan kegagalan tindakan medis dengan tindak pidana. Hal ini tidak sepenuhnya tepat karena dalam tindak pidana, yang dititikberatkan adalah akibat dari tindak pidana. Sedangkan di dalam tindakan medis, yang menjadi titik berat adalah proses. Oleh karena itu, karakteristik dari tindakan medis adalah inspanningsverbintennis (perikatan yang menitikberatkkan pada upaya maksimal) dan bukan resultaatsverbintennis (perikatan yang menitikberatkan pada hasil). Meskipun demikian, dalam menerapkan upaya maksimal, terdapat parameter yang harus dipatuhi, yaitu Standar Profesi Kedokteran.

Alfred Ameln dalam bukunya yang berjudul “Kapita Selekta Hukum Kedokteran” dan HJJ Leenen dalam bukunya yang berjudul “Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie" menjelaskan unsur Standar Profesi Kedokteran yang meliputi: Zorgvuldig handelen (berbuat secara teliti/seksama); Volgens de medische standard (sesuai ukuran medis); Gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie (kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama); Gelijke omstandigheden (situasi dan kondisi yang sama); Met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concreet handelingsdoel (sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medis tersebut). Kegagalan dalam tindakan medis dapat diproses secara pidana apabila memenuhi unsur: menyimpang dari Standar Profesi Kedokteran; mengandung culpa lata (kelalaian berat); dan menimbulkan akibat yang fatal atau serius. Hal tersebut juga dapat diproses secara perdata apabila memenuhi unsur: menyimpang dari Standar Profesi Kedokteran; mengandung culpa, meskipun hanya culpa levis (kelalaian ringan); ada kerugian; ada hubungan kausal antara kegagalan tindakan medis dengan kerugian.

Tanggung jawab rumah sakit di Indonesia diatur dalam Pasal 46 UU Rumah Sakit yang menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Ada dua makna yang terkandung di dalam pengaturan ini. Pertama, rumah sakit hanya bertanggung jawab terhadap kesalahan yang bersifat kelalaian dan bukan kesalahan yang bersifat kesengajaan. Hal ini dikarenakan, kesalahan yang bersifat kesengajaan merupakan perbuatan yang digolongkan sebagai kriminal karena terdapat mens rea (sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana) dan actus reus (perbuatan yang melanggar undang-undang pidana).

Tags:

Berita Terkait