Tarik Ulur Pembahasan RUU Pengampunan Pajak
Utama

Tarik Ulur Pembahasan RUU Pengampunan Pajak

Selain reformasi perpajakan, aspek regulasi pun perlu diperbaiki merevisi UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) disepakati menunggu hasil konsultasi antara DPR dengan Presiden Joko Widodo. Namun, ada sejumlah catatan diberikan para anggota dewan terhadap RUU Pengampunan Pajak. Meski beberapa fraksi menyetujui RUU tersebut dilakukan pembahasan, namun pemerintah mesti menjelaskan dengan gamblang pemetaan dari sektor pajak.

Anggota Komisi XI Donny Imam Priambodo mengatakan terdapat beberapa hal yang perlu dikaji mendalam. Pertama, terkait dengan tarif uang tebusan yang mesti dibayar ke kas negara. Ia berpandangan tarif yang ditetapkan mesti proporsional dan mengedepankan asas keadilan. Menjadi sulit mencapai target penerimaan pajak bila tarif pengampunan pajak yang diterapkan terlampau rendah sebagaimana tertera dalam Pasal 3 draf RUU Pengampunan Pajak.

Ia berpandangan, tarif mesti sepadan dengan fasilitas pengampunan pajak yang akan diterima oleh wajib pajak. Dengan begitu setidaknya akan timbul kesetaraan sesuai dengan demokrasi ekonomi. “Fasilitas pengampunan pajak sebagaimana pada Pasal 14 dalam draf RUU ini perlu dikaji lebih dalam sehingga unsur keadilan (bagi wajib pajak dan negara) dapat terpenuhi,” ujarnya di Gedung DPR, Kamis (14/4).

Catatan lainnya, kata politisi Nasdem itu, bila kebijakan pengampunan pajak diimplementasikan, maka perlu diikuti dengan upaya penegakan hukum yang lebih tegas setelah masa pengampunan pajak. Pengampunan pajak mestinya dilakukan bersamaan dengan reformasi perpajakan. Mulai perubahan perundangan perpajakan dan perubahan structural. Dengan begitu dapat mendukung sistem pemungutan pajak.

“Sehingga kebijakan pengampunan pajak dapat dirasakan efeknya secara lebih menyeluruh,” imbuhnya.

Atas dasar itu, diperlukan kondisi kondusif dan relatif mendukung kebijakan  pengampunan pajak. Menurutnya, pemerintah perlu mengupayakan berbagai cara dalam rangka mediasi dengan partai oposisi di parlemen, termasuk menciptakan konsesus politik terkait dengan kebijakan pengampunan pajak. Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat  itulah diperlukan anggaran pembangunan yang terbilang besar. Antara lain dengan mewujudkan peningkatan penerimaan untuk pembangunan dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri, yaki pajak.

"Mengingat secara ekonomi, pemungutan pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat," ujarnya.

Anggota Komisi XI lainnya Ecky Awal Mucharam menilai adanya kelemahan dalam RUU Pengampunan Pajak. Misalnya, banyaknya warga negara yang menyimpan harta kekayaan di luar negeri, hingga pemerintah kalah dengan wajib pajak. Ironisnya, pemerintah sulit mendapatkan data wajib pajak. “Itu menunjukan sistem kita ada kelemahan,” ujarnya.

Ecky berpandangan ketimbang membahas RUU Pengampunan Pajak, DPR dan pemerintah fokus agar dilakukan revisi terhadap UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain regulasi, institusi perpajakan mesti diperkuat. Sebagaimana diketahui UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sudah mengalami empat kali revisi dan revisi terakhir ialah di UU No. 16 Tahun 2009.

“Tanpa disertai reformasi struktural di bidang perpajakan, Tax Amnesty tidak akan efektif. Ini terbukti dari kegagalan negara-negara lain yang melakukan Tax Amnesty tanpa adanya institusi perpajakan yang kuat,” imbuh politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Anggota Komisi XI lainnya Herry Gunawan menambahkan rendahnya penerimaan negara  dari sektor pajak menjadikan pemerintah mesti bekerja lebih keras. Terlbih target penerimaan pajak cukup tinggi. Ia mengatakan naskah akademik  RUU Pengampunan Pajak memang sudah dikantongi fraksinya. Hanya saja, ia perlu mempelajari lebih mendalam. Kendati demikian, penjelasan dari pemerintah terkait dengan pemetaan perpajakan perlu diberikan kepada DPR.

“Kami berharap agar pembahasan RUU ini dapat segera dilakukan, namun tidak tergesa-gesa,” pungkas politisi Gerndra itu.

Sekedar diketahui, realisasi penerimaan pajak tahun 2015 senilai Rp 1.055 triliun atau 81,5 persen dari yang ditargetkan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang tercatat Rp 1.294,25 triliun.

Sedangkan di 2016, Pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp1.360 triliun dari total penerimaan negara sebesar Rp1.822,5 triliun dalam APBN 2016.  Hingga Februari 2016, penerimaaan pajak baru mencapai 9% dari target Rp1.360,1 triliun. Dengan capaian 9%, artinya penerimaan pajak dua bulan pertama mencapai Rp 122,4 triliun, turun 5,4% dari periode yang sama 2015 yaitu Rp 130,8 triliun.

Tags:

Berita Terkait