Tolak Moratorium, AKPI Usul Hapus Hak Kreditur PKPU dan Revisi Besaran Fee Kurator
Utama

Tolak Moratorium, AKPI Usul Hapus Hak Kreditur PKPU dan Revisi Besaran Fee Kurator

Karena permohonan PKPU yang diajukan kreditur bukan didasarkan niat restrukturisasi. Hal ini membuka peluang bagi oknum tertentu untuk melakukan moral hazard. Perlu merevisi Pasal 1 ayat (6), Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 222 UU PKPU dan Kepailitan melalui Perppu agar pembahasan bisa lebih cepat atau revisi UU Kepailitan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 6 Menit

Angka imbalan jasa fee pengurus yang cukup menggiurkan ini disinyalir menjadi salah satu kekhawatiran lain dari dunia usaha terkait adanya moral hazard dalam pelaksanaan PKPU, terutama di masa pandemi. Hingga memunculkan usulan untuk melakukan moratorium terhadap permohonan PKPU.

Ketua Dewan Penasehat Asosiasi dan Pengurus Indonesia (AKPI) Jamaslin James Purba tak menampik adanya potensi pelanggaran dan moral hazard yang timbul dari pihak pengurus maupun kurator dalam proses perkara PKPU. Pasalnya, ketika perkara PKPU berakhir dengan perdamaian dalam waktu 45 hari, debitur wajib membayar imbal jasa pengurus maksimal 5 persen dari total tagihan utang, termasuk untuk PKPU yang dimohonkan oleh pihak kreditur.

Dia mengakui ada pihak-pihak terkait yang mendapatkan keuntungan dibalik proses PKPU tersebut. Apalagi mayoritas upaya PKPU yang diajukan oleh kreditur adalah sesuatu yang yang tidak masuk akal. Menurut James, sebagai pihak yang memiliki piutang kepada debitur, selayaknya kreditur mengharapkan pembayaran utang dengan segera, bukan malah meminta penundaan lewat mekanisme PKPU.

“Kalau dalam perkara pailit dan PKPU banyak penyimpangan, kita tidak bisa menutup mata memang ada seperti itu. Kalau para pelaksana UU tidak beriktikad baik akan terjadi moral hazard, memanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Dilihat dalam perkara PKPU dan pailit kenapa banyak keluhan dari pelaku usaha, bahwa masuknya perkara ke PKPU diajukan kreditur kalau kita analisa tidak masuk akal, kok kreditur minta utangnya ditunda bayar? Kenapa itu terjadi salah satu dibalik itu memberi manfaat (keuntungan, red) bagi pihak terkait, salah satunya fee dari pengurus sebesar 5 persen dari outstanding utang. Saya tidak menyebutkan nama tertentu,” kata James dalam webinar bertajuk "Restrukturisasi Bisnis di Masa Pandemi: Quo Vadis UU Kepailitan dan PKPU", yang diselenggarakan IKA FH Unpad, Sabtu (4/9/2021).

James berpendapat permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditur ini bukan didasarkan atas niat restrukturisasi. Hal ini membuka peluang bagi oknum tertentu untuk melakukan moral hazard. Jika keberatan demikian menjadi salah satu alasan pelaku usaha, maka langkah yang sebaiknya diambil adalah mendesak pemerintah untuk menghapus hak kreditur mengajukan PKPU dan melakukan revisi terhadap besaran fee kurator, bukan mengusulkan moratorium.

“Kalau niatnya restrukturisasi debitur dong yang mengajukan PKPU. Ini banyak kejadian, fakta tidak bisa dipungkiri. Saya tidak menuduh teman-teman pengurus kurator, tapi faktanya banyak yang berlomba-lomba ajukan perkara, bukan karena niat resturkturisasi. Misal ada klien yang mau menagih utang, kalau gugat perdata itu 3 tahun, mending PKPU kalau bisa berdamai semua happy. Ini keberatan pelaku usaha. Kalau itu yang dikhawatirkan hapuskan hak kreditur mengajukan PKPU dan revisi fee pengurus, jangan moratorium,” kata James.

“Aturan masuk ke gelanggang itu yang dipersempit, bisa lewat Perppu dengan hanya mengubah Pasal 1 ayat (6), Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 222 UU Kepailitan. Kalau 3 item itu yang diubah dan dimasukkan dalam Perppu, tidak perlu berbulan-bulan pembahasannya. Jangan kebijakan moratorium karena ada juga debitur yang butuh PKPU.”

Tags:

Berita Terkait