Undang-undang Sikat Saja
Tajuk

Undang-undang Sikat Saja

Kerendahan hati seorang Presiden saat ini, lebih-lebih di saat pandemi di mana kita semua sedang merana, sangat dibutuhkan.

RED
Bacaan 8 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Bayi sudah lahir. Omnibus Law yang digagas sejak pelantikan Presiden terpilih pada tahun 2019, dibicarakan cukup lama dan intens oleh pemerintah, parlemen, kalangan pedagang dan industrialis, dan jadi bahan diskusi ilmiah, pemberitaan media dan obrolan media sosial, akhirnya lolos juga. Kesan kuat yang ditimbulkan, sangat dipaksakan. Buruh sudah demo sejak awal 2020 mengenai substansi perburuhan. Para ahli, akademisi dan pegiat CSO sudah memperingatkan sepanjang awal 2020 sampai dengan sebelum lahir, bahayanya mengundangkan Omnibus Law kalau kita tidak taat azas dan tidak prudent. Tidak taat azas di sini dimaksudkan sebagai UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jelas diterabas. Tidak prudent di sini dimaksudkan kalau pihak-pihak yang terdampak tidak diajak bicara tentang maksud pembentukan UU ini, apa manfaatnya buat negara, dan apa dampaknya terhadap mereka, dan yang paling penting bagaimana dampak tersebut dapat diatasi.

Mengapa pemerintah dan parlemen memaksakan hal tersebut, mungkin banyak dari kita yang mempertanyakan. Tidak kurang sejumlah lembaga internasional, dan bahkan investor yang peduli, menanyakan hal tersebut. Jawabnya mungkin ada banyak versi. 

Pertama, ada niat baik pemerintah sebagai pengusul untuk memperbaiki iklim investasi kita yang dianggap buruk kalau dibandingkan dengan banyak negara berkembang lain. Ada banyak sebab. Di antaranya perizinan yang rumit dan bertele, lama, sering tidak masuk akal, dan yang lebih buruk lagi, ditangani oleh birokrasi yang korup. Dalam banyak survei, Indonesia diproyeksikan menjadi ekonomi terbesar kelima di dunia pada tahun 2030, dan keempat pada tahun 2050 (PWC: The World in 2050) setelah China, India dan AS. Tentu ini sebelum Covid-19 datang menyusup diam-diam. Presiden Jokowi dengan pemerintahannya menyambut ramalan ini dengan percaya diri yang tinggi, dan wajar bahwa setiap presiden tentu ingin legacy. Karena kita punya bonus demografi, kekayaan alam, akses ke pasar yang besar, dan kestabilan politik yang tinggi, kepercayaan menjadi semakin tinggi, sehingga dicarilah banyak penyebab dari kurang cepatnya pertumbuhan ekonomi kita. 

Dalam banyak survei independen, kesulitan mendapatkan izin usaha dan korupsi ternyata menjadi yang paling pokok. Dengan titik tolak inilah, Omnibus Law digagas. Dalam perjalanannya, deretan masalah lain muncul, dari masalah hukum lingkungan yang dianggap terlalu ketat, hukum perburuhan yang dianggap terlalu memihak buruh, perpajakan dan keruwetannya yang dinilai tidak menjadikan kita bersaing, persyaratan investasi yang kurang longgar, administrasi pemerintahan yang tidak kunjung direformasi, pengadaan lahan yang mahal dan tidak ada kepastian hukum, perlindungan UKM yang kurang, dan sebagainya. Sehingga kemudian timbullah 11 kluster (perizinan usaha, investasi, ketenagakerjaan, UMKM dan koperasi, riset, kemudahan berusaha, perpajakan, kawasan ekonomi khusus, daerah) yang menjadi pokok-pokok substansi Omnibus Law yang kemudian dinamakan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). 

Kedua, berangkat dari pengalaman pemerintah dan parlemen mengubah Undang-Undang KPK tahun lalu, dengan "keberhasilan tinggi" di tengah protes keras dari dalam dan luar negeri, pemerintah dan parlemen juga punya percaya diri yang tinggi untuk mengubah banyak undang-undang dengan UUCK ini. Kepercayaan diri tersebut makin meningkat setelah pemerintah dan parlemen juga berhasil menggolkan amandemen UU Minerba dan UU Mahkamah Konstitusi dengan amat mudah. Dengan "niat baik" seperti tersebut di atas, maka seperti yang sudah kita saksikan, RUU CK disetujui oleh pemerintah dan parlemen, melalui proses singkat yang abai transparansi. Sejumlah orang dan organisasi yang dianggap terdampak oleh UUCK, mungkin diajak bicara, tetapi kita semua tahu bahwa mereka bukan representasi yang cukup untuk bisa dikatakan mewakili seluruh pemangku kepentingan, warga Indonesia, yang terdampak oleh UUCK. 

Pikiran mereka yang menjalankan proses seperti ini mungkin sederhana saja, yaitu dengan mengadopsi prinsip "the end justifies the means, atau outcomes justifies the deeds (exitus àcta probat). Morally wrong actions are sometimes necessary to achieve morally right outcomes", yang disinyalir datang dari konsep Machiavelli dalam bukunya "the Prince" atau mungkin dari Ovid's Heroides (ca 10 BC). Pikir mereka, mungkin, iktikad baik pemerintah harusnya sudah cukup dan disadari oleh rakyat, jadi rakyat, kalian di masa pandemi ini sebaiknya diam saja, kami bekerja keras untuk kalian untuk tujuan akhir yang baik, yaitu bagaimana UUCK ini dibuat untuk mensejahterakan kita semua. Mungkin kira-kira begitu moral ceritanya dari para perancang dan pelolos UUCK. 

Proses yang baik memang belum tentu menghasilkan UU yang baik. Tetapi proses yang buruk sudah pasti akan menghasilkan UU yang bermasalah, atau paling tidak sulit untuk efektif dilaksanakan. Mungkin Presiden tidak diberi tahu proses teknis perancangan perundang-undangan, dan juga tidak tentang moral legislasi ketika harus menghasilkan suatu UU yang baik, dapat diterima luas, dan sehingga dapat dilaksanakan dengan efektif. Mudah-mudahan Presiden tidak berpikir bahwa bermodal iktikad baik dari seorang yang dianggap jujur, baik, dan tidak korup sudah lebih dari cukup.

Ketiga, virus corona 19 yang diam-diam menyusup dan menjangkiti 333.449 dan membunuh 11.844 warga Indonesia (Worldometer:13 Oktober 2020) dan masih akan menjangkiti banyak lagi sampai herd immunity terbentuk dan vaksin efektif disuntikkan, betul merupakan musibah dunia yang kita turut merasakannya dengan pahit. Satu persatu saudara, sahabat dan orang-orang baik yang kita kenal menjadi korban virus laknat ini. Namun, pandemi yang membatasi gerak orang, berkumpul untuk melakukan diskursus, berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk masalah-masalah penting negara dan bangsa, termasuk memperdebatkan secara terbuka RUU CK, rupanya membuka kesempatan lebar dan dimanfaatkan untuk meloloskan RUU CK. Suatu sikap yang tidak pantas, tidak transparan, dan bahkan melanggar hukum.

Pada bulan September 2020, kita tahu melalui banyak pernyataan para pejabat publik bahwa vaksin akan mulai disuntikkan kepada anggota masyarakat yang diprioritaskan. Dalam waktu sampai dengan pertengahan tahun 2021 direncanakan bahwa vaksinasi dan herd immunity sudah akan menghasilkan puluhan juta warga Indonesia imun terhadap Covid-19. Mudah-mudahan pada akhir tahun 2021, herd immunity sebesar 70% sudah akan tercapai, suatu syarat yang menjadi kunci menurunnya pandemi dengan tajam, dan kegiatan masyarakat sudah bisa jauh lebih baik dan aktif dibanding dengan saat ini. Menunda pembahasan RUU CK selama 6-9 bulan, harusnya bisa dilakukan. Pemerintah dan parlemen memilih tidak melakukan itu, dan memilih untuk berhadapan dengan rakyatnya sendiri di jalanan dan Mahkamah Konstitusi.

Kalaulah alasannya untuk meningkatkan investasi, maka selama kurun waktu satu tahun ke depan, siapa yang mampu dan akan melakukan investasi besar-besaran di Indonesia di masa dunia dilanda resesi hebat ini? Kalaupun ada, para investor dan arus modal, demi memitigasi risiko rasanya bisa dan mampu menunggu sampai pertengahan atau akhir 2021. Kalaulah alasannya untuk memberantas korupsi terkait dengan perizinan dan birokrasi, bukankah jalan yang lebih mudah bisa dilakukan tahun lalu dengan tidak memberangus KPK? Proses digitalisasi perizinan, kalaupun sudah memaksa dilakukan sekarang, juga bisa dilakukan dalam UU terpisah atau bahkan aturan yang lebih rendah dari UU, dan pasti dengan mudah akan mendapat dukungan semua unsur bangsa yang ingin Indonesia bebas dari beban korupsi. Jadi dari segi waktu, apalagi dengan pandemi ini, sebenarnya tidak ada keperluan mendesak untuk segera mengundangkan UU CK. 

Sudah banyak masalah substansi yang disuarakan oleh para akademisi, ahli, masyarakat sipil dan pihak-pihak yang terdampak dengan UU CK, termasuk serikat buruh dan pegiat lingkungan, sehingga tidak perlu menegaskannya lagi di sini. Perdebatannya bisa sangat panjang, apalagi mengingat UU CK merupakan UU Omnibus pertama yang kita buat.

Membaca 900 lebih halaman, mengubah 79 UU lainnya, memahami konsteksnya termasuk dasar hukum, filosofis dan sosiologis UU yang diubah, dan dasar-dasar yang sama dari UU CK yang mengubah, bukan soal gampang. Celetukan anggota parlemen sendiri yang mengaku belum menerima draft akhir, dan belum membaca seluruh bagian dari RUU CK, merupakan bukti betapa dipaksakannya proses meloloskan RUU CK. Saya juga tidak mau bersuudzon atau berburuk sangka mengenai siapa yang paling diuntungkan dari UU CK, siapa yang punya banyak kepentingan dengan berdiri di belakang RUU CK, atau siapa yang mengendalikan ini semua dengan mengetahui sebelumnya bahwa pelolosan RUU CK akan menimbulkan kegaduhan nasional. Biarlah waktu nanti membuka sendiri lemari-lemari yang penuh tulang belulang.

Nasi sudah jadi bubur. Akan tetapi kita juga harus bisa melanjutkan kehidupan berbangsa dengan adab yang baik, sekalipun hanya dengan bermodalkan bubur. Suatu langkah besar, tanpa harus takut dipermalukan, perlu dilakukan untuk memperbaiki proses yang cacat, substansi yang kurang, dan menutup luka yang sudah terlanjur menganga. Ada yang menuntut Presiden untuk mengeluarkan Perppu mencabut UU CK, yang mereka jawab sendiri dengan mengatakan bahwa itu tidak mungkin karena RUU CK diusulkan oleh Presiden, selain bahwa syarat mengeluarkan Perppu sama sekali tidak bisa dipenuhi. Pengalaman para pegiat antikorupsi yang gagal mengusahakan agar Presiden membatalkan amandemen UU KPK melalui Perppu bisa jadi pelajaran. Kurang gawat apa korupsi di Indonesia dibandingkan dengan perbaikan investasi. Bahkan minimnya korupsi justru akan menjadikan pertumbuhan ekonomi lebih baik. Presiden sendiri dalam beberapa kesempatan menantang rakyatnya yang tidak setuju dengan UU CK, sebagian besar adalah para buruh yang hidupnya pas-pasan, dan mahasiswa yang punya hati nurani, untuk bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Rasanya ini bukan Presiden yang saya tahu, yang saya ikut memilihnya dalam dua pemilu. Selain tidak menunjukkan sikap bijaknya sebagai pemimpin yang selalu mau dekat dengan rakyat, proses MK sendiri melelahkan, dan belum tentu MK sendiri bisa memenuhi tuntutan rakyat karena tuntutan atas tidak dipenuhinya proses formil belum pernah dikabulkan, dan juga belum tentu para hakim di MK akan menganggap pasal-pasal dalam UU CK melanggar konstitusi. 

Kerendahan hati seorang Presiden saat ini, lebih-lebih di saat pandemi di mana kita semua sedang merana, sangat dibutuhkan. Yang perlu dilakukan adalah Presiden membuat maklumat terbuka kepada seluruh rakyat tentang kesediaannya untuk membuat amandemen UU CK dalam waktu dekat, misalnya tidak lebih dari 3 bulan. Pimpinan parlemen dan parpol segera setelahnya membuat maklumat terbuka kepada seluruh rakyat dan konstituennya bahwa parlemen akan memproses dan menyetujui amandemen atas UU CK dalam waktu dekat, tidak lebih dari 3 bulan. Serikat Buruh dan mahasiswa diajak bicara secara terbuka, dan diminta untuk menunggu dengan sabar proses amandemen UU CK diselesaikan dalam waktu tidak lebih dari 6 bulan. 

RUU Amandemen UU CK mungkin tetap perlu dibuat dalam bentuk bentuk Omnibus Law, tetapi dibagi dalam beberapa RUU. Yang pertama, yang pasti didukung oleh parlemen dan seluruh rakyat Indonesia, adalah RUU yang terkait dengan perbaikan iklim investasi, pertumbuhan ekonomi dan pemberantasan korupsi. Di sini dapat dicakup perizinan dan kemudahan berusaha, investasi, UMKM dan koperasi, riset, perpajakan, kawasan ekonomi khusus, dan persoalan kewenangan daerah. RUU lain yang disiapkan, mungkin tidak perlu dalam bentuk Omnibus Law, menyangkut bidang perburuhan. Keluhan investor dan buruh perlu dipertemukan. Pemerintah melakukan intervensi dalam bentuk pemberian lapangan kerja dan jaminan sosial yang lebih baik dengan menyertakan partisipasi pengusaha dan buruh. Kita bisa bandingkan kondisi perburuhan kita dengan banyak negara lain di sekeliling kita dan negara lain yang setara perekonomiannya dengan Indonesia. Kluster lain, yang terkait dengan tata ruang, lingkungan hidup dan reformasi agraria bisa dibuat dalam RUU amandemen UU CK lainnya. 

Bapak Presiden, tuan-tuan di parlemen, dan teman-teman buruh dan mahasiswa. Negeri ini dibangun dari hasil perdebatan terus menerus para pendiri bangsa sejak beberapa puluh tahun sebelum kemerdekaan. Persoalan yang dibicarakanpun bukan main pentingnya, pada saat mana mereka berdebat, kadang dengan keras, tentang negara hukum, hubungan antara eksekutif, legislatif dan judikatif, kemerdekaan berserikat, ekonomi, keadilan sosial, pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, kebebasan beragama, kekayaan negara, dan banyak lainnya. Untuk masalah pertumbuhan ekonomi dan peningkatan investasi serta upah, rasanya kita juga masih bisa berdebat dengan sehat dan beradab untuk menghasilkan norma-norma baru yang kita semua anggap baik. 

Ats - Babakan Madang, 13 Oktober 2020

Tags:

Berita Terkait