Usulkan Gratifikasi Seks Diatur, Dosen Pidana Ini Berikan Alasannya
Utama

Usulkan Gratifikasi Seks Diatur, Dosen Pidana Ini Berikan Alasannya

Penafsiran ekstensif dapat digunakan. Hakim berwenang membuat penafsiran hukum.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline.com

(Mahmud Mulyadi (kiri) dalam seminar Mahupiki di FH UI Depok, Senin (18/2). Foto: MYS

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Akhiar Salmi termasuk yang berpandangan gratifikasi seks bisa dikenakan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor tadi. Seperti dimuat dalam berita sebelumnya, Akhiar mengatakan gratifikasi dapat diartikan secara luas. Meskipun demikian, ia mengakui proses pembuktiannya tak semudah membalik telapak tangan.

 

(Baca juga: Gratifikasi Seks Dapat Dijerat UU Tipikor)

 

Tafsir ekstensif adalah salah satu bentuk penafsiran dalam penemuan hukum. Artinya penafsiran yang memperluas makna. Sudikno Metrokusumo, dalam Mengenal Hukum Suatu Pengantar (1995) menjelaskan bahwa dalam penafsiran ekstensif dilampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal (de gramatikale of taalkundige interpretatie).

 

Contohnya adalah penafsiran kata ‘menjual’ dalam Pasal 1576 BW. Pasal ini menyebutkan ‘dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan kecuali apabila ini telah diperjanjian pada waktu menyewakan barang’. Kata ‘menjual’ dalam pasal ini tidak hanya dimaknai sebagai jual beli, tetapi diperluas untuk setiap peralihan hak milik. Sejak tahun 1906, kata ’menjual’ dalam pasal itu ditafsirkan oleh Hooge Raad secara luas, yakni bukan semata-mata berarti jual beli, tetapi juga peralihan atau pengasingan.

 

Contoh lain adalah perluasan makna ‘saksi’ dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP. Saksi dalam pasal ini hanyalah orang yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa pidana. Pada Agustus 2011, Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung memperluas makna saksi, meliputi pula orang yang mengetahui peristiwa pidana.

 

(Baca juga: Larangan Menggunakan Analogi dalam RUU KUHP Terus Diperdebatkan)

 

Mahmud berpendapat penggunaan tafsir ekstensif tidak dilarang. Dalam hukum pidana, yang dilarang adalah analogi. Lagipula, kata dia, di tengah ketidakjelasan peraturan perundang-undangan, hakim punya kewajiban untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Hakim tidak boleh menolak mengadili perkara karena alasan tidak ada undang-undang yang mengatur pokok perkara yang akan diadili. Hakimlah yang berwenang menafsirkan. “Untuk lebih memperjelasnya, maka Rancangan KUHP harus mengatur itu,” ujar Mahmud Mulyadi.

Tags:

Berita Terkait