Pernyataan Wakil Ketua DPR bidang Politik dan Keamanan DPR Lodewijk F Paulus soal situasi Papua dalam status ‘darurat sipil’ mendapat sorotan tajam kalangan masyarakat sipil. Sebab dengan status darurat sipil ada konsekuensi hukum sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU No.74 Tahun 1957 tentang Pencabutan ‘Regeling Po De Staat Van Oorlog En Beleg’ dan Penetapan Keadaan Bahaya.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, mengatakan hingga kini belum adanya keputusan resmi Presiden Joko Widodo soal status operasi keamanan di tanah Papua. Baginya, penyelesaian masalah dengan pendekatan keamanan, seperti darurat sipil tidak akan dapat menyelesaikan konflik yang selama ini terjadi di Papua.
“Darurat sipil tidak akan dapat menyelesaikan konflik di Papua,” ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (13/2/2023).
Baca juga:
- 4 Sikap Komnas HAM Tentang Jeda Kemanusiaan di Papua
- Amnesty International: Semua Pihak Berkonflik di Papua Harus Hormati HAM
- Menagih Janji Pemerintah Tuntaskan Konflik Bersenjata di Tanah Papua
Fatia menilai pernyataan Lodewijk sangat berbahaya, karena dapat memicu kekerasan dan memperparah situasi kemanusiaan di Papua. Pernyataan itu dikhawatirkan menjadi validitas bagi aparat keamanan untuk melakukan tindakan berlebihan dan sewenang-wenang. Melalui kebijakan darurat sipil, negara memiliki kewenangan yang sangat besar dan berpotensi terjadi pelanggaran HAM.
Mengutip Perppu 23/1959, Fatia menjelaskan dengan darurat sipil pemerintah bisa melarang atau membatasi pengiriman berita atau percakapan melalui telepon maupun radio. Setidaknya larangan tersebut menjadi konsekuensi hukum bagi pemerintah melakukan tindakan tertentu. Termasuk menggeledah tempat-tempat di luar kehendak pemilik hingga dapat mengontrol semua akses informasi seperti penyebaran tulisan/gambar dan penerbitan.
“Wewenang pemerintah yang besar tersebut, tentunya akan dapat menimbulkan persoalan baru dan warga sipil yang tidak bertikai dapat menjadi korban,” ujarnya.