UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU mengubah sebagian ketentuan UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan hutan. Misalnya, menyisipkan Pasal 110 A dan 100 B, intinya memberi kesempatan bagi pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan untuk mengurus perizinan paling lambat 3 tahun sejak UU 6/2023 berlaku. Sanksi yang dikenakan bagi pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut bukan pidana, tapi administratif. Sejak awal ketentuan itu menuai protes dari kalangan masyarakat sipil, salah satunya Walhi.
Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Uli Arta Siagian, menilai Pasal 110A dan 110B UU 6/2023 merupakan bentuk pengampunan terhadap pelaku kejahatan kehutanan. Pemberian pengampunan oleh pemerintah itu semakin cepat jelang Pemilu 2024. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menerbitkan Surat Keputusan (SK) ke XI memuat beragam data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan tanpa mengantongi perizinan kehutanan.
SK ke XI itu menurut Uli mengidentifikasi 890 subjek hukum yang kebanyakan perusahaan sawit (531 unit), pertambangan (175 unit), dan sisanya individu, koperasi, dan kelompok tani. Dalam SK 1-7 yang sebelumnya diterbitkan Menteri LHK, teridentifikasi sebanyak 1.192 subjek hukum dimana 616 diantqaranya korporasi sawit, 130 perusahaan pertambangan, 241 individu, dan kelompok dengan aktivitas perkebunan sawit serta 205 unit kegiatan lainnya.
Uli yakin Kementerian LHK bakal menuntaskan pengampunan terhadap pelaku kejahatan kehutaanan ini sebelum 2 November 2023 sebagaimana mandat Pasal 110A dan 110B UU 6/2023. Kerja cepat pemerintah ini bukan tanpa konteks, mengingat 19 Oktober 2023 sampai 25 November 2023 merupakan masa pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden, calon Gubernur, dan Wakil Gubernur, serta calon bupati dan wakil bupati. Dengan demikian, disinyalir awal November 2023 konsolidasi kepentingan antara, partai-partai politik dan pemberi biaya sudah harus selesai. Hal ini diperkuat dengan proses yang dilakukan secara tertutup oleh Kementerian LHK.
“Sehingga tidak berlebihan, jika kita sebut Pasal 110 A dan 110 B ini merupakan ruang transaksional yang sengaja dibuat untuk mempertemukan kepentingan korporasi dan para elit di tahun politik. Korporasi dapat pengampunan, para elit dapat ongkos politik,” kata Uli dikonfirmasi, Kamis (27/04/2023).
Baca juga:
- ICEL Kritisi 10 Instrumen Hukum Lingkungan Pasca UU Cipta Kerja
- Menteri Siti Nurbaya: UU Cipta Kerja Sebagai Upaya Perlindungan Lingkungan dan Masyarakat
Selain korporasi, Uli menyebut subjek hukum lainnya seperti individu yang memiliki kebun sawit di kawasan hutan perlu ditelusuri lebih jauh mengingat luasnya sampai 25 hektar. Dalam SK ke-XI disebut ada 31 individu yang memiliki kebun sawit lebih dari 25 hektar. Kelompok tani dengan komoditas sawit rentan dijadikan modus korporasi untuk mendapat pengampunan. Fakta yang umum ditemukan di lapangan antara lain korporasi membentuk kelompok plasma yang anggotanya merupakan karyawan perusahaan atau beberapa kelompok masyarakat. Tujuannya agar perusahaan bisa mendapat akses legal di kawasan hutan.