Revisi UU Penyiaran dapat Menjadi Bumerang bagi KPI
Berita

Revisi UU Penyiaran dapat Menjadi Bumerang bagi KPI

Di tengah membaranya semangat para kandidat baru anggota KPI mengamandemen UU Penyiaran, anggota KPI lama enggan membicarakan rencana revisi itu.

Oleh:
CRY
Bacaan 2 Menit
Revisi UU Penyiaran dapat Menjadi Bumerang bagi KPI
Hukumonline

 

Hartono, yang maju sebagai kandidat baru, tetap menyerukan revisi UU Penyiaran. Revisi tersebut hanya dilakukan pada Pasal 14, 18, 29, 30, 31, 32, 33, serta 60. Pokoknya pasal-pasal yang mengandung kata-kata ‘Pemerintah bersama-sama dengan KPI'. Bunyinya harus dirombak dan cukup kewenangan ada pada KPI, ujar Hartono yang berbicara satu sesi dengan Ade.  

 

Sebelumnya, KPI mengajukan uji materi (judicial review) UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi serta 7 PP tentang penyiaran ke Mahkamah Agung. Menurut anggota KPI Andrik Purwasito yang juga maju menjadi kandidat, perang judicial review ini tak terelakkan. Selama ini Depkominfo ingin mengantongi kewenangan memberikan izin, dan KPI cukup mengurusi isi siara (content) saja. Hal ini tak mungkin terjadi. Setiap pemberian izin tentu berkaitan dengan isi siaran, serunya.

 

Perseteruan panjang KPI versus Depkominfo menyiratkan kesan kedua lembaga ini hanya berebut kekuasaan. Ade pun menampiknya. Kita hanya mendudukkan masalah sesuai kadarnya. Jika Depkominfo terlalu berwenang, dengan sistem kekuasaannya yang sentralistik, kita akan kembali ke era Orde Baru dengan Departemen Penerangannya. Demokrasi penyiaran akan terampas, ujarnya.

 

Sementara itu, jurnalis SCTV Iskandar Siahaan mengemukakan, kondisi KPI 2006-2009 akan sama dengan periode sebelumnya -2003-2006. Pada waktu itu, KPI terlalu sibuk berseteru dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil. Sofyan menjabat menteri –jika tidak dikocok ulang– hingga 2009. Sama halnya, masa kerja KPI baru akan berakhir hingga 2009. Artinya, jika pola pikir tidak berubah, kondisinya akan sama dan tetap berseteru dengan Sofyan Djalil, tuturnya saat menjadi panelis pada acara tersebut.

Keengganan ini dipicu adanya kekhawatiran yang dapat mengusik eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Ade Armando—salah satu anggota KPI lama yang kembali mencalonkan diri—menyatakan keengganan itu.

 

Ade menjelaskan, amandemen UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bisa bergulir ke penghapusan pasal-pasal yang mengatur kewenangan KPI. Saya kurang antusias membahas revisi UU Penyiaran karena saya khawatir keberadaan KPI akan dicoret. Kita tahu sendiri, mekanisme politik yang terjadi di parlemen. Jika ngelantur terlalu jauh, bisa jadi amandemen tersebut lebih buruk dari isi UU yang sudah ada, tuturnya.

 

Sebelumnya, saat Debat Terbuka Calon Anggota KPI 2006-2009 yang berlangsung Selasa (16/1), anggota KPI lama yang juga maju sebagai kandidat, Amelia Hezkasari Day dan Bimo Nugroho juga berpendapat sama dengan Ade. UU Penyiaran sudah bagus. Hanya PP yang dibuat oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo, red) Sofyan Djalil yang perlu dicabut, ujar Amelia. UU Penyiaran belum perlu diamandemen. Cuma, ke depannya kita perlu UU Komunikasi (Communication Act, red), sambung Bimo.

 

Sikap Ade, Amelia, serta Bimo ini justru bersilangan dengan beberapa kandidat lainnya yang ngotot mengamandemen UU Penyiaran. Dosen Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta Hartono mengakui, proses revisi UU maupun PP tentang penyiaran bakal butuh waktu panjang dan tanpa kepastian.

Halaman Selanjutnya:
Tags: