Menyoal Pasal-pasal Kontroversial UU Penyiaran
Kolom

Menyoal Pasal-pasal Kontroversial UU Penyiaran

Terlepas dari pro kontra, suka atau tidak suka, terhitung sejak 28 Desember 2002, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) telah berlaku secara sah dan mengikat bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Karena pada tanggal tersebut, Bambang Kesowo, Sekretaris Negara Republik Indonesia, telah mengundangkan Undang-undang tersebut, sebagaimana tertuang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 2002, Nomor 139.

Bacaan 2 Menit
Menyoal Pasal-pasal Kontroversial UU Penyiaran
Hukumonline

Tulisan ini akan menyorot beberapa pasal kontroversial UU Penyiaran dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang oleh sementara pihak dinilai sebagai reinkarnasi Departemen Penerangan Rezim Orde Baru (Deppen) yang dilegitimasi oleh rezim tersebut untuk memasung bahkan membunuh kelangsungan hidup pers di Indonesia. Seperti yang terjadi pada para "almarhum" pers, antara lain Sinar Harapan, Editor, Indonesia Raya, Abadi, Nusantara, Kami, Prioritas, dan tabloid Detik yang diberangus dengan pencabutan Surat Izin Terbit (SIT) dan atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kejadian-kejadian mana tercatat sebagai sejarah kelam bagi dunia pers di Indonesia.

Untuk mengetahui secara jelas tentang eksistensi KPI dan pasal-pasal kontroversial tersebut, dalam tulisan ini akan dilakukan pengkajian mengenai (i) kewenangan KPI yang menyerupai Deppen, (ii) wewenang KPI yang bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi dari Undang-Undang Penyiaran, (iii) judicial review sebagai upaya hukum yang harus ditempuh untuk mengeliminir eksistensi pasal-pasal dan lembaga kontroversial KPI, (iv) peranan hakim sebagai living interpretator dalam mengkonkretisasikan hukum untuk mewujudkan keadilan masyarakat (social justice), (v) pasal-pasal diskriminatif UUP dan, (vi) pasal-pasal UUP yang menegasi hak-hak masyarakat

Kewenangan KPI

Seperti halnya almarhum Deppen dengan segala "senjata" administratifnya, KPI juga diberikan kewenangan untuk menentukan tata cara dan pemberian sanksi administratif berupa (i) teguran tertulis, (ii) penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu, (iii) pembatasan durasi dan waktu siaran, (iv) denda administratif, (iv) pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, (v) tidak memberikan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran dan (vi) pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (Pasal 51 ayat 2 dan 3). 

Adapun pemberian sanksi-sanksi administratif tersebut dapat dilakukan, antara lain jika lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi menyelenggarakan lebih dari satu siaran dengan lebih dari satu saluran siaran pada lebih dari satu cakupan wilayah siaran. Misalnya, jika SCTV, RCTI, METRO TV, atau ANTV menayangkan lebih dari satu siaran pada beberapa saluran siaran pada lebih dari satu cakupan wilayah siaran, maka KPI dan Pemerintah dapat menyusun tata cara dan pemberian sanksi kepada lembaga-lembaga penyiaran swasta tersebut (Pasal 51 ayat 1). 

Secara tegas, dapat dikatakan bahwa KPI bersama Pemerintah--sebagaimana halnya Deppen--berwenang mencabut izin penyelenggaraan penyiaran lembaga-lembaga penyiaran swasta tersebut. Tampaknya, para penyusun UUP agak malu-malu dalam merumuskan kewenangan KPI yang satu ini, sehingga "penganugerahan" wewenang tersebut diberikan tidak secara eksplisit, melainkan implisit dengan merumuskan bahwa KPI dan Pemerintah menyusun tata cara dan pemberian sanksi administratif tersebut di atas (Pasal 54 ayat 3).

Padahal jika dicermati secara mendalam, terlihat bahwa KPI bersama Pemerintah diberikan legitimasi untuk melenyapkan eksistensi lembaga penyiaran dengan cara mencabut dan atau tidak memperpanjang izin penyelenggaraan penyiaran lembaga tersebut.  Jika demikian, sangat logis jika dikatakan bahwa KPI merupakan reinkarnasi Deppen karena kedua lembaga tersebut memiliki "senjata" administratif yang sama.

Pelanggaran terhadap UUD'45 Hasil Amandemen

Bab XA UUD'45 Hasil amandemen secara eksplisit telah menjamin dan melindungi kemerdekaan dan kebebasan penyiaran dengan menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28 D ayat 1). Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28 E ayat 2).

Halaman Selanjutnya:
Tags: