Artidjo Alkostar: Hakim Agung yang Melawan Arus
Profil

Artidjo Alkostar: Hakim Agung yang Melawan Arus

Dalam Laporan Tahunan MA kepada MPR, ketua MA Bagir Manan mengucapkan terima kasih atas terbitnya Keppres yang memberikan fasilitas kendaraan dinas bagi hakim agung. Maklum, sejak dilantik pada akhir 2000, Bagir bersama belasan hakim agung lainnya belum mendapatkan fasilitas kendaran dinas. Termasuk hakim agung Artidjo Alkostar

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Artidjo Alkostar: Hakim Agung yang Melawan Arus
Hukumonline
Karena tidak mendapat fasilitas kendaraan dinas, Artidjo selalu naik bajaj atau taksi dari rumahnya ke gedung Mahkamah Agung dan sebaliknya. Bahkan karena belum juga mendapat fasilitas rumah dinas dari MA, Artidjo mengontrak sebuah rumah di perkampungan di Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, di belakang deretan bengkel las.

Seorang hakim agung naik bajaj atau taksi ke kantornya memang bukan pemandangan yang lazim. Begitu pula hakim agung mengontrak rumah di perkampungan belakang bengkel las. Terlebih, dalam kondisi saat ini ketika  kendaraan dan barang mewah lainnya seakan menjadi ukuran prestise tidaknya seseorang. Melihat panitera Pengadilan Negeri di Jakarta mengendarai mobil mewah adalah suatu hal yang biasa. Siapakah Artidjo, sosok yang mampu melawan arus ini?

Lahir di Situbondo, Jawa Timur, ayah dan ibu Artidjo berasal dari  Sumenep. Karena  itu, darah Madura mengalir deras di tubuhnya. Sampai lulus SMA, Artidjo mengenyam pendidikan di Asem Bagus, Situbondo. Ia kemudian masuk Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Dari kecil, Artidjo sama sekali tidak pernah berencana untuk berkecimpung di dunia hukum. Kisah masuknya Artidjo ke FH UII merupakan suatu kebetulan, yang menurut Artidjo adalah kisah yang aneh. Alkisah, ketika duduk di bangsu SMA di Situbondo, Artidjo mengambil jurusan eksakta dan ingin masuk Fakultas Pertanian.

Alasannya sederhana saja, karena ayahnya seorang petani yang juga guru agama. Agar  menghemat ongkos, Artidjo menitipkan pada seorang kenalannya di Asem Bagus yang kuliah di Yogya untuk mendaftarkannya di Fakultas Pertanian. Rencananya pada saat tes, Artidjo akan datang ke Yogya.

Apa lacur, ternyata pendaftaran untuk fakultas pertanian sudah ditutup. Kenalan Artidjo yang mahasiwa Fakultas Hukum UII menyarankan Artidjo agar masuk ke FH UII, kemudian tahun berikutnya baru mendaftar lagi di Fakultas Pertanian. Akhirnya, Artidjo mendaftar di FH UII yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, ternyata Artidjo merasa betah di Fakultas Hukum dan tidak berminat lagi mendaftar di Fakultas Pertanian.

Selama menjadi mahasiswa, Artidjo aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan juga Dewan Mahasiwa (Dema). Bahkan, ia sempat menjadi ketua Dema. Karena aktivitasnya itu, Artidjo "terpaksa" menjadi dosen di almamaternya. Ketika aktif di Dema, ia sering berdemonstrasi memprotes kegiatan belajar mengajar di UII, yang menurutnya masih banyak masalah.

Seorang profesor di UII mengatakan pada Artidjo, "Kamu jangan hanya protes, tunjukkan juga bahwa kamu juga punya dedikasi sama UII," kata Artidjo menirukan. "Akhirnya saya termakan sama ucapan sendiri. Saya memberikan sebagian ilmu saya sampai saat ini," ujar Artidjo.

Sampai saat ini, walau telah menjadi hakim agung, Artidjo masih mengajar di kampus almamaternya. Artidjo mengajar setiap Sabtu, dari pagi sampai malam. Ia mengajar hukum acara pidana dan etika profesi serta mengajar matakuliah HAM untuk S2. Artidjo biasa pulang ke Yogyakarta Jumat sore dan dijemput keponakannya di bandara dengan menggunakan motor. Di Yogya, Artidjo juga tidak memiliki mobil. Senin pukul enam pagi ia sudah kembali ke Jakarta.

Di Jakarta, Artidjo tinggal sendiri di rumah kontrakannya di Kramat Kwitang. Rumah yang disewa Artidjo itu terletak di perkampungan, di belakang deretan tukang las. Artidjo mengaku senang tinggal di situ, apalagi rumahnya tepat di depan musala. Ia juga mengaku akrab dengan jamaah musala di situ. Istri Artidjo, Sri Widyaningsih  yang dinikahinya pada 1998 atau 1999 -- Artidjo lupa tahun persisnya -- tinggal di Yogya.

Walaupun seharusnya mendapat rumah dinas dari MA, Artidjo terpaksa mengontrak rumah karena belum ada rumah dinas yang kosong. Penyebabnya, ada sebagian pejabat MA yang sudah pensiun, tetapi tidak mau pergi dari rumah dinasnya. "Itu penyakit orang Indonesia. Bagaimana lagi, nggak mungkin saya ngeyel memaksanya pergi," ujar Artidjo enteng. Akhirnya, ia terpaksa mengeluarkan uang dari sakunya sendiri untuk mengontrak rumah.

Lulus dari FH UII pada 1976, sejak itu Artidjo mengajar di FH UII sampai saat ini. Tahun 1981, ia menjadi wakil direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta sampai 1983. Selanjutnya, 1983 sampai 1989 ia menjadi orang nomor satu di LBH Yogyakarta.  Artidjo berada di New York antara 1989 tahun 1991 untuk mengikuti pelatihan untuk lawyer mengenai Hak Asasi Manusia di Columbia University selama enam bulan. Saat yang bersamaan, ia juga bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun.

Pulang dari Negeri Paman Sam, AS, Artidjo mendirikan kantor hukumnya yang bernama Artidjo Alkostar and Associates sampai 2000. Pada tahun itu juga ia harus menutup kantor hukumnya karena terpilih sebagai hakim agung. Sebenarnya, pertama kali ditawari oleh Menkeh HAM saat itu Yusril Ihza Mahendra untuk menjadi calon hakim agung, Artidjo menolak. "Karena saya tahu dunia peradilan itu hitam, di mata saya. Karena sering ada suap-menyuap. Itu dari pengalaman saya sebagai pengacara," ujar Artidjo tentang alasannya menolak tawaran itu.

Tapi, Yusril meyakinkan bahwa Artidjo dicalonkan oleh banyak orang di Jakarta, seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara, Asmara Nababan, dan Bismar Siregar. Artidjo kemudian menyatakan akan mempertimbangkan terlebih dahulu. Artidjo ragu karena dalam agama Islam tugas hakim itu berat.

Bahkan, Artidjo pernah mendengar, Imam Hanafi -- salah satu mazhab dalam Islam -- pernah dipaksa sampai digebuki agar mau menjadi hakim. Namun, Imam Hanafi bersikukuh tidak mau karena beratnya tugas itu. Karena itu, sebelum memutuskan, Artidjo melakukan konsultasi dengan kyai dari Madura. Kyai Madura menyatakan bahwa amanat itu harus diterima. Akhirnya, Artidjo bersedia dan kemudian mengikuti fit and proper test sampai kemudian terpilih menjadi hakim agung.

Pertama menjadi hakim agung, Artidjo sempat merasa kaget. Penyebab pertama adalah perubahan dari seseorang yang biasa bebas menjadi pejabat negara yang terikat formalitas kekantoran.  Namun, ada banyak hal lain yang membuat ia lebih kaget dan  prihatin. Sampai pada sekitar bulan kedua setelah menjadi hakim agung, Artidjo pernah menempel tulisan di pintu ruang kerjanya. Tulisan itu berbunyi, "Tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara". Artidjo terpaksa memasang tulisan itu karena banyak tamu yang datang menawarkan uang dan tawaran-tawaran menggoda lainnya.

Salah satu persitiwa yang membuatnya kaget adalah ketika seorang pengusaha dari Surabaya datang menemuinya di ruang kerjanya dan menyatakan, "Pak Artidjo, ini uang, yang lain sudah". Saya terkejut betul, kok vulgar betul. Karena terkejut, spontan Artidjo menjawab, " Saya merasa sangat terhina dengan ucapan Anda. Itu ucapan yang tidak layak Anda ucapkan. Saya merasa terhina. Tolong saudara keluar saja sebelum saya marah. Anda orang Jawa Timur, saya juga orang Jawa Timur". Merasa kaget,  pengusaha itu segera meninggalkan ruangan.

Artidjo menyatakan, ia tidak akan memberikan dispensasi moril kepada tamu yang ada hubungannya dengan perkara. Motivasinya, bukan karena ia sok suci, tetapi justru karena ia merasa lemah sebagai manusia. Godaan seperti itu, jika dituruti akan menjadi kebiasaan dan memperburuk tingkah laku sebagai hakim.

Sewaktu menjadi pengacara, Artidjo ingin mencari kawan sebanyak-banyaknya. Namun sejak menjadi hakim agung, ia membatasi diri dan menjaga jarak. Saat ini, yang bisa bertamu ke kantornya hanya mahasiswanya, wartawan, dan kyai dari Madura. Selain itu, mereka dapat diterima, tapi di luar ruang kerja pribadi agar pembicaraan mereka dapat didengar oleh staf-stafnya. "Saya bukan sok moralis. Tapi karena saya merasa lemah, jadi saya harus menjaga jarak dengan godaan-godaan," tegas Artidjo.

Walau begitu, Artidjo pernah juga "kecolongan". Salah satu orang yang ia kenal,  justru menawari uang, mobil, dan apartemen agar ia memenangkan suatu kasus tertentu. Tentu saja, kenalan itu dimarahi oleh Artidjo.

Karena menempel tulisan di depan ruang kerjanya, salah seorang hakim agung karir pernah berkata pada mahasiswa S2 UII yang berkunjung ke MA. "Itu dosen kamu, Artidjo, masa nulis-nulis di pintunya tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara. Gimana itu, masa kalau orang datang ke sini, mau ngasih telor ditolak". Padahal menurut Artidjo, tidak mungkin ada orang berperkara datang ke MA dan memberi telur pada hakim agung, kecuali mungkin telur dari emas. 

Artidjo sadar bahwa bekerja sebagai hakim tidak akan lepas dari godaan dan tantangan. Godaan berupa iming-iming sogokan dari pihak yang berperkara. Sedang tantangan merupakan ancaman yang bisa mengancam keselamatan hakim agung, seperti penembakan yang terjadi terhadap almarhum hakim agung Syafiuddin Kartasasmita.

Artidjo pernah memutus perkara korupsi yayasan dengan terdakwa mantan presiden Soeharto bersama almarhum Syafiuddin. Waktu itu, Syafiuddin dan Sunu Wahadi menginginkan agar perkara itu dihentikan. Namun, Artidjo berbeda pendapat dengan kedua hakim itu. Ia menginginkan agar perkara dilanjutkan. Karena tidak dicapai kesepakatan, akhirnya sebagai komprominya, disebutkan dalam putusan bahwa Soeharto dalam status sebagai tahanan dirawat dengan biaya negara sampai sembuh dan ketika sembuh harus segera dihadapkan ke pengadilan. 

Perbedaan pendapat antara Artidjo dengan hakim agung lainnya dalam memutus perkara bukan hanya terjadi satu kali itu. Artidjo malah tercatat sebagai satu-satunya hakim yang memberikan dissenting opinion dalam putusannya. Hal ini ia lakukan ketika memutus perkara korupsi Bank Bali dengan terdakwa Joko Tjandra.

Ketika itu, kedua koleganya dalam majelis sudah menyetujui untuk membebaskan Joko Tjandra. Artidjo yang menolak untuk membebaskan Joko bersikeras agar pendapatnya masuk ke dalam putusan, bukan hanya dilampirkan dalam putusan seperti lazimnya selama ini. Akhirnya, pendapat Artidjo yang berlainan dengan dua hakim lainnya itu dimasukkan dalam putusan.

Mengenai alasannya meminta dissenting opinion, Artidjo menyatakan bahwa itu dilakukan karena ia tidak mau ikut bertanggungjawab atas putusan yang membebaskan Joko Tjandra. Lagi pula, sebagai hakim hasil fit and proper test, Artidjo merasa dissenting opinion itu adalah bentuk pertanggungjawabannya terhadap publik dan DPR.

Artidjo beralasan bahwa saat menjalani fit and proper test di DPR, ia menyatakan bahwa ia akan melakukan dissenting opinion bila menemui masalah seperti di atas dan ia melakukan tandatangan di kertas bersegel ketika menjalani tes.  Ia juga berharap terobosan yang ia lakukan itu akan menjadi suatu kajian dan kontribusi dalam khazanah keilmuan hukum.

Ketika ada kabar bahwa Artidjo pergi belajar ke AS tanpa izin, setelah memutus perkara Joko Tjandra, banyak orang mengkaitkan kepergian itu dengan kekecewaan Artidjo terhadap keadaan di MA.  Namun, Artidjo menolak dengan tegas dugaan itu. "Tidak benar saya kecewa. Itu saya kira bukan sikap saya. Saya akan fight dalam keadaan itu". Pemasangan tulisan di pintu ruang kerjanya merupakan salah satu indikator bahwa ia melawan ketidaknyamanan di MA.

Artidjo membantah bahwa ia telah pergi tanpa pamit. Menurutnya, yang terjadi hanyalah masalah miskomunikasi dan akibat sikapnya yang tidak official. Menurutnya, ia telah mengirim surat permohonan untuk mengambil beasiswa yang diterimanya dari Fullbright kepada ketua MA sejak 22 Juli 2001. Namun, sampai lama surat itu tidak mendapat respons. Pada 20 Agustus, setelah rapat pleno ketua MA Bagir Manan memberitahu bahwa ia diizinkan untuk berangkat dan disuruh mengurus urusan administrasi dan keuangan.

Anggapan Artidjo, urusan administrasi dan keuangan akan diselesaikan oleh Sekjen MA dan bagian keuangan. Karena itu, ia mengirim surat yang menyatakan bahwa ia telah diijinkan untuk berangkat dengan tembusan kepada sekjen dan bagian keuangan. Setelah itu, berangkatlah ia mengambil LLM tentang international human right law di North Western University Chicago selama sembilan bulan.

Ternyata di tanah air, kepergian Artidjo dipermasalahkan karena dianggap belum mendapat ijin. Bagi Artidjo, miskomunikasi itu luar biasa merugikannya. Tapi di sisi lain, karena menyandang gelar LLM di bidang hukum internasional tentang HAM, Artidjo ditunjuk menjadi salah seorang hakim agung HAM, di samping hakim agung ad hoc HAM.

Tantangan yang berupa ancaman, bagi Artidjo bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai bekas ketua LBH dan pengacara, Artidjo kenyang dengan berbagai ancaman dan teror. Ketika menjadi pembela kasus Santa Cruz di Dili, Timor-Timor, pada 1992, Artidjo menemui berbagai acaman. Dari mulai ke mana-mana diikuti oleh intel sampai diancam oleh supir taksi.

Bahkan pernah suatu malam di hotel di Dili, seorang berpakaian ninja berniat menyatroni kamar hotelnya. Namun, si pencuri keliru ke kamar sebelahnya yang digunakan oleh salah seorang staf Artidjo. Meski begitu, Artidjo bertahan sampai enam bulan di Dili untuk membela sekitar lima sampai enam orang demonstran. Para demonstran itu diadili dan dijatuhi hukuman berkisar enam tahun, delapan tahun, duabelas tahun, sampai penjara seumur hidup.  

Sewaktu di LBH, Artidjo sering masuk keluar berbagai kota untuk menolong orang yang disangka sebagai penembak misterius (petrus). Kala itu, tahun 1985, banyak orang yang dituduh sebagai gali atau residivis yang langsung ditembak ditempat. Kadang, tidak jelas apa alasan seseorang ditembak. Hal itu menjadi diskresi dari kodim setempat.

Pernah seorang pria di Lumajang, Jawa Timur, dikejar-kejar tentara hendak dieksekusi, sehingga akhirnya ia bersembunyi selama empat bulan di kebun tebu. Ketika Artidjo bertanya pada Kodim, mengapa pria itu dikejar-kejar, mereka menyatakan bahwa pria itu keras kepala. Ternyata walau perkaranya kalah di MA, pria itu  menolak untuk dilakukan eksekusi terhadap hartanya.

Karena aktivitasnya membela korban petrus, ayah ibu Artidjo sempat khawatir sewaktu Artidjo pulang ke Situbondo. Pasalnya, ada berita yang menyatakan sudah ada tim yang sudah mengincar Artidjo dan ia akan ditembak ketika kembali ke Yogyakarta. Saat itu, di Situbondo sudah tidak ada orang yang mau makan ikan. Sungai di desa itu airnya berwarna merah, karena menjadi tempat pembuangan orang yang ditembak. Banyak mayat mengambang di sungai, dan itu terjadi juga di daerah-daerah lain.

Meski pernah mempunyai kantor pengacara di Yogyakarta, kekayaan Artidjo ketika menjadi hakim agung tidak mencolok. Maklum, Artidjo sering tidak tega menarik bayaran dari kliennya yang tidak mampu. Kalau dihitung-hitung, penghasilan dari kantornya -- setelah untuk membayar gaji lawyer-nya dan membeli buku -- tinggal pas-pasan.

Sebagian besar penghasilan Artidjo memang ia habiskan untuk membeli buku, terutama literatur asing. Sebagai dosen, Artidjo merasa jika tidak rajin membaca,  ia tidak akan bisa mengajar dengan baik dan tidak menambah ilmu muridnya. Karena itu, koleksi buku penggemar buku-buku filsafat sampai novel John Grisham dan Agatha Cristie ini banyak sekali.

Sebagai pengacara, Artidjo juga menghadapi berbagai godaan. Salah satunya adalah tawaran pihak lawan agar Artidjo tidak bersungguh-sungguh membela kliennya di persidangan sambil ditawari segepok uang. Tawaran itu ditolak karena ia tidak mau menghianati hati nuraninya dan kliennya. Karena merasa tidak pernah menyogok hakim atau jaksa, Artidjo berani mengajukan protes pada hakim atau jaksa jika ia melihat ada yang tidak beres dalam persidangan. 

Karena sebagai pengacara lebih sering kalah daripada memenangkan suatu perkara,  untuk mengusir stress Artidjo  mempunyai beberapa hobi, seperti memelihara ayam bekisar dari Madura, memelihara ikan koi, serta bonsai. Ketika diperiksa Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Artidjo pernah ditanya pemeriksa, berapa hektare kolam ikan yang dimilikinya.

Tentu saja Artidjo tertawa, karena ikan koinya hanya beberapa ekor di akuarium. Artidjo juga pernah shock ketika suatu majalah memberitakan kekayaannya sebesar Rp5 miliar.  Bukan apa-apa, ia khawatir jika familinya di Madura membaca majalah itu, mereka semua akan minta sumbangan.

Ketika ditanya bagaimana ia bisa konsisten dengan sikapnya, jawaban Artidjo simpel saja. Menurutnya, kekayaan hanya sementara dan tidak berguna ketika seseorang sudah meninggal. Ia bersikap seperti itu agar ia tidak mempunyai beban. "Kalau kita lurus saja sering tergelincir. Apalagi belok-belok, yang tidak halal," cetusnya.

Ia sering melihat hakim atau penegak hukum yang semasa hidup tidak lurus, ketika meninggal tidak beres keadaannya. Artidjo berpendapat, orang tidak dihormati karena pakaiannya atau hartanya. Justru kehormatan yang harus menjadi pakaian. Karena dalam dirinya tidak ada beban, Artidjo bisa berdiri dengan mata tegak. "Keluar dari MA meski jalan kaki, tetapi dengan tegak," ujarnya mantap. Artidjo menikmati perannya sebagai hakim agung dengan kesederhanaan dan kejujuran. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: