UU Advokat Tidak Berlaku di Pengadilan Pajak
Utama

UU Advokat Tidak Berlaku di Pengadilan Pajak

Proses beracara di Pengadilan Pajak dituding melanggar Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasalnya, izin pemberian jasa hukum di Pengadilan Pajak tidak merujuk kepada UU Advokat, melainkan hanya pada Keputusan Ketua Pengadilan Pajak.

Oleh:
Tri
Bacaan 2 Menit
UU Advokat Tidak Berlaku di Pengadilan Pajak
Hukumonline

 

Hal yang sama diungkapkan Defrizal,  pengacara dari kantor Lubis Santosa Maulana Law Office. Ia mengatakan, biasanya yang menangani kasus pajak di Pengadilan Pajak kebanyakan malah konsultan pajak dan akuntan publik, bukan pengacara. Misalnya,  akuntan dari KAP Ernest and Young atau KAP Pricewaterhouse Coopers. Padahal, jika dilihat kasusnya, kasus tersebut sudah murni masalah hukum dan tidak lagi soal angka-angka.

 

Senada dengan Tri Hayati, Defrizal menceritakan bahwa masalah izin beracara di Pengadilan Pajak, semua ditentukan oleh Ketua Pengadilan Pajak. Misalnya, syarat harus memiliki pengalaman di bidang perpajakan. Atau paling tidak, untuk mengajukan diri menjadi pengacara yang dapat beracara disana, harus memiliki latar belakang pendidikan akuntansi atau perpajakan. "Kalau sudah memiliki ijazah akuntansi atau perpajakan (brevet) yah baru bisa diangkat," ucapnya.  

 

Intervensi

Soal ijin oleh Ketua Pengadilan Pajak ini, dinilai Hayati sebagai bentuk campur tangan Pengadilan Pajak terhadap profesi advokat. Alasan pihak pengadilan bahwa hal itu adalah bentuk pengawasan terhadap kuasa hukum, dianggap Hayati sebagai sesuatu yang tidak dapat dimengerti. "Pengacara itu sudah punya pengawasan sendiri. Bahkan mereka punya kode etik," cetus Hayati. 

 

Hayati yang juga dosen di Fakultas Hukum UI ini malah mempertanyakan apakah Ketua Pengadilan Pajak memiliki kewenangan mengeluarkan keputusan yang bersifat pengaturan. Menurutnya, pengadilan sebagai lembaga kekuasaan yudikatif hanya bisa membuat Keputusan yang sifatnya menetapkan, dan tidak bisa membuat keputusan yang sifatnya mengatur, seperti pengaturan tentang izin praktek ini.

 

Ketua Umum AAI Denny Kailimang yang dihubungi hukumonline juga menentang keras soal adanya aturan seperti itu. Merujuk ke UU Advokat, Denny menandaskan bahwa hanya advokat lah yang memiliki kewenangan memberikan jasa hukum di seluruh pengadilan di Indonesia, termasuk juga di Pengadilan Pajak. 

 

"Nanti setelah lauching kartu advokat oleh KKAI dan Mahkamah Agung (MA) pada 30 Maret 2003, kami akan melakukan sosialisasi ke pengadilan-pengadilan. Termasuk Pengadilan Pajak," ucapnya.

 

Selain itu, Denny juga menegaskan bahwa Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) akan melakukan penertiban terhadap praktek-praktek jasa hukum yang tidak dilakukan oleh advokat. "Kalau ada seseorang yang melakukan jasa hukum tetapi dia tidak punya izin advokat, maka yang bersangkutan bisa kena sanksi pidana," tegas Denny.

Selain itu, Ketua Pengadilan Pajak tidak mewajibkan pemberian kuasa untuk beracara di pengadilan tersebut kepada seorang advokat. Biasanya, wajib pajak yang mengajukan keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Terhutang (SPT), hanya memberikan kuasa pada konsultan pajak, yang notabene bukan pengacara.

 

Hal ini dikemukakan oleh Tri Hayati, Sekretaris Center For Law and Good Governance Studies. Ia mengutarakan bahwa di Pengadilan Pajak, Ketua Pengadilan Pajak lah yang menentukan siapa saja yang bisa menjadi kuasa hukum untuk perkara yang disidangkan. Bahkan, seorang pengacara yang sudah memiliki izin praktek advokat,  belum tentu bisa berpraktek di Pengadilan Pajak.

 

"Di Pengadilan Pajak, UU Advokat tidak berlaku. Karena untuk berpraktek di Pengadilan Pajak ditentukan Ketua Pengadilan Pajak," tuturnya kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: