Ini Perbedaan UU Perasuransian yang Baru dan Lama
Berita

Ini Perbedaan UU Perasuransian yang Baru dan Lama

OJK berharap UU Perasuransian yang baru ini membuat penyelenggaraan asuransi berjalan lebih baik.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK, Firdaus Djaelani (kiri). Foto: RES
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK, Firdaus Djaelani (kiri). Foto: RES
Pada Oktober 2014, DPR bersama pemerintah telah mengesahkan UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Kehadiran UU ini disambut baik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator dan pengawas di sektor asuransi. Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Firdaus Djaelani, mengatakan kehadiran UU ini menggantikan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang dinilai sudah tak sesuai zaman.

"UU Usaha Perasuransian dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan industri perasuransian," kata Firdaus di Jakarta, Senin (19/1).

Menurutnya, terdapat sejumlah perbedaan antara UU Perasuransian dengan UU Usaha Perasuransian yang lahir 22 tahun silam. Pertama, berkaitan dengan konsultan aktuaria. Pada UU yang lama, usaha konsultan aktuaria merupakan salah satu bidang usaha perasuransian yang izin usahanya diberikan oleh menteri.

Sedangkan di UU yang baru, konsultan aktuaria tidak lagi merupakan usaha perasuransian, tetapi merupakan salah satu profesi penyedia jasa bagi perusahaan perasuransian. Konsultan aktuaria harus terdaftar di OJK.Perbedaan lainnya berkaitan dengan bentuk badan hukum.

Pada UU yang lama, bentuk badan hukum usaha perasuransian adalah perusahaan perseroan (Persero), koperasi, perseroan terbatas (PT) dan usaha bersama (mutual).Sedangkan di UU yang baru, bentuk badan hukum usaha perasuransian adalah perseroan terbatas, koperasi dan usaha bersama. Menurut Firdaus, bagi pihak yang ingin membentuk usaha bersama baru akan didorong untuk menjadi koperasi.

Ketiga, terkait kepemilikan perusahaan perasuransian. Pada UU yang lama, untuk perusahaan perasuransian yang didirikan oleh warga negara Indonesia (WNI) dan/ atau badan hukum Indonesia, tidak diatur kepemilikan dari badan hukum Indonesia yang menjadi pendiri perusahaan perasuransian.

Untuk perusahaan perasuransian patungan, juga tidak diatur kriteria perusahaan asing yang menjadi induk dari perusahaan perasuransian patungan tersebut. Selain itu juga tidak diatur kepemilikan warga negara asing yang menjadi pemilik dari perusahaan asuransi patungan tersebut.

Sedangkan pada UU yang baru, perusahaan perasuransian yang didirikan oleh WNI dan/atau badan hukum Indonesia, badan hukum Indonesia yang menjadi pendiri peruaahaan perasuransian tersebut harus dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh WNI. Untuk perusahaan perasuransian patungan, pihak asing harus merupakan perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang usaha perasuransian yang sejenis.

"Selain itu diatur juga bahwa WNA dapat menjadi pemilik dari perusahaan perasuransian patungan melalui transaksi di bursa efek," kata Firdaus.

Keempat, berkaitan dengan likuidasi. Dalam UU yang lama, tidak diatur tindak lanjut dari pencabutan izin usaha perusahaan asuransi dan reasuransi. Sedangkan di UU yang baru diatur, bahwa paling lama 30 hari sejak tanggal dicabutnya izin usaha, perusahaan asuransi dan reasuransi yang dicabut izinnya wajib menyelenggarakan RUPS untuk memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan yang bersangkutan dan membentuk tim likuidasi.

"Bila perusahaan tersebut tidak dapat menyelenggarakan RUPS dan membentuk tim likuidasi, maka OJK memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan dan membentuk tim likuidasinya," tuturnya.

Ia berharap, diterbitkannya UU Perasuransian yang baru ini dapat mengefektifkan penyelenggaraan usaha perasuransian yang selama ini sudah berjalan. "Dengan diterbitkannya UU perasuransian ini diharapkan nantinya penyelenggara usaha perasuransian dapat berjalan dengan lebih baik dan perlindungan kepentingan masyarakat serta pengguna jasa asuransi dapat semakin ditingkatkan," katanya.

Jumlah bab dan pasal antara UU yang lama dan baru juga mengalami peningkatan. Semula, pada UU yang lama hanya terdapat 28 pasal dan 13 bab. Lalu, meningkat dalam UU yang baru menjadi 92 pasal dan 18 bab. Menurutnya, meningkatnya jumlah bab dan pasal tersebut lantaran terdapat pengaturan baru di sektor asuransi.

Misalnya, ketentuan mengenai saham pengendali, program asuransi wajib, penjaminan polis dan pengelola statuter. Pengelola statuter ini memiliki tugas untuk menyelamatkan asuransi syariah, perusahaan reasuransi atau perusahaan reasuransi syariah, menyusun langkah-langkah apabil perusahaan asuransi, asuransi syariah, reasuransi atau reasuransi syariah tersebut dapat diselamatkan.

"Selain itu, pengelola statuter dapat mengajukan usulan agar OJK mencabut izin usaha perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi atau perusahaan reasuransi syariah apabila perusahaan tersebut dinilai tidak dapat diselamatkan," katanya.

Ketentuan baru lainnya dalam UU yang baru ini mengenai asuransi syariah dan larangan penempatan asuransi pada perusahaan asuransi terafiliasi. Firdaus mengatakan, sejumlah peraturan pelaksana dalam UU yang baru ini akan dibentuk melalui peraturan pemerintah (PP) atau peraturan OJK (POJK).

Anggota Komisi XI DPR Indah Kurnia yang ikut membahas UU Perasuransian berharap keberadaan UU yang baru ini dapat mengefektifkan industri asuransi sendiri. Selama ini, ia melihat banyak masyarakat yang belum menyentuh sektor asuransi. Menurutnya, kebanyakan masyarakat yang kenal dengan industri jasa keuangan lebih menyentuh sektor perbankan.

"Yang penting bagaimana industri asuransi ini menampilkan dirinya, masyarakat belum banyak berpikir soal asuransi. Kita berharap masyarakat tidak hanya investasi di bank, tapi juga di asuransi," tutup politisi dari PDI Perjuangan ini.
Tags:

Berita Terkait