HMBC Rikrik Rizkiyana:
Lawyer Pemerhati Gifted Children
Berita

HMBC Rikrik Rizkiyana:
Lawyer Pemerhati Gifted Children

Berangkat dari niat ingin memberi kontribusi bagi bangsa.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
HMBC Rikrik Rizkiyana. Foto: RES
HMBC Rikrik Rizkiyana. Foto: RES
John Fitzgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-35, pernah berucap ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country". Kutipan ini begitu populer di seantero Bumi karena pesannya begitu kuat untuk menggugah siapapun untuk berkontribusi untuk negaranya masing-masing.

HMBC Rikrik Rizkiyana atau akrab disapa Rikrik pun pernah ‘risau’ tentang hal ini. Bersama Vovo Iswanto, koleganya ketika mendirikan kantor hukum Rizkiyana & Iswanto, Rikrik berdiskusi tentang apa yang bisa mereka lakukan untuk negara tercinta, Indonesia.

“Saya ngobrol sama Vovo, ‘Vo kayaknya ada yang mesti kita lakukan’. Ya sebagian dari kita merasa kita bisa mencapai sesuatu, tapi kemudian kita ini kan juga anak negeri ya dari SD sampe kuliah di sekolah negeri, jadi mesti ada yang kita buat (untuk negeri),” kenangnya dalam sesi wawancara khusus dengan Hukumonline, Senin (7/9).

Rikrik yang saat ini bergabung dengan Assegaf Hamzah & Partners lalu mencetuskan gagasan mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak cerdas dan berbakat istimewa atau istilahnya Gifted Children. Sekolah yang diberi nama Cugenang Gifted School (GCS) ini berlokasi di Desa Talaga, Cugenang, Cianjur, Jawa Barat.

Rikrik mengaku pertama kali kenal istilah Gifted Children dari seorang teman yang berprofesi psikolog. Sang teman menginformasikan ke Rikrik tentang rencana mendirikan pusat penelitian Gifted Children. Begitu mengenal dunia Gifted Children lebih dalam, Rikrik pun merasa tertarik.

Dikutip dari www.psikologi.net, Gifted dan Talented Children’s Education Act 1978 mendefinisikan Gifted, anak yang teridentifikasi saat prasekolah, sekolah dasar atau menengah sebagai orang yang memiliki kemampuan potensial dan menunjukkan kapabilitas performansi pada area spesifik dan membutuhkan pelayanan atau kegiatan yang tidak biasanya dari sekolah”.   

“Mungkin saat itu, saya juga nyambung dan akhirnya memilih mendirikan gifted school ini karena ayah ibu saya itu guru di SLB (Sekolah Luar Biasa, red). Orang tua saya mendirikan dua SLB di Depok, yang bisa jadi itu adalah SLB pertama di Depok,” lulusan Fakultas Hukum UI ini menambahkan.

Dengan sensitivitas yang serupa dengan anak-anak di SLB, Gifted Children butuh penanganan khusus, ungkap Rikrik. Kalau tidak mereka bisa jadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena karakternya yang kritis. Jika tidak ditangani secara khusus, Gifted Children bisa saja direkrut oleh kalangan fundamentalis yang berbahaya karena task commitment (ketekunan menjalan tugas) mereka yang tinggi.

“Seringkali kita jumpai anak-anak itu seperti nerd (aneh, red), sering mereka juga jadi bahan bully di sekolah karena memang belum tentu semua orang itu paham. Kasihan mereka. Makanya kemudian kita melihat juga bahwa potensi anak-anak seperti itu, kalau misalkan salah asuh aja ini bisa bahaya,” ujar Rikrik.

“Tetapi, kalau sudah punya atensi terhadap sesuatu, mereka bisa jadi yang terbaik karena kecerdasannya itu,” sambungnya.

Menurut Rikrik, negara sebenarnya sudah mengakui keberadaan Gifted Children dengan adanya Pasal 5 ayat (4) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi “warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.” Namun, sangat disayangkan pemerintah belum menyediakan fasilitas bagi mereka.

CGS merupakan sekolah bagi gifted children pertama di Indonesia, klaim Rikrik. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga masih belum paham mengenai mereka untuk membuat sekolah-sekolah serupa di tempat lain. “Padahal mah seharusnya kalau udah ada di undang-undang ya mereka harusnya paham ya,” tukasnya.

“Mungkin memang butuh lawyers untuk mendirikan Gifted School ini,” lanjutnya. Sebagai informasi, selain Rikrik dan Vovo, lawyer lain yang juga terlibat dalam mengembangkan CGS ada Ibrahim Senen (Partner DNC Law Firm) dan Ahmad Fikri Assegaf (Partner AHP Law Firm).

Sudah tujuh tahun berjalan, CGS yang diperuntukkan bagi Gifted Children dari kalangan dhuafa ini kini memiliki 22 siswa didik. Di samping kurikulum yang berlaku di sekolah normal, CGS juga memfasilitasi siswa sesuai dengan minat dan bakat mereka masing-masing.

“Kita berikan tempat yang nyaman yang mengerti mereka, karena mereka semua berbeda” sebut Rikrik.

Namun dua hal yang wajib tertanam pada diri setiap siswa, lanjut Rikrik, adalah percaya akan eksistensi Tuhan dan semangat nasionalisme sebagai bentuk kecintaan kepada negara.
Tags:

Berita Terkait