Kisruh Hak Angket KPK, Akhirnya ‘Mampir’ ke MK
Berita

Kisruh Hak Angket KPK, Akhirnya ‘Mampir’ ke MK

Alasan uji materi ini berawal dari pembentukan pansus hak angket DPR terhadap KPK yang terkesan dipaksakan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menerima pendaftaran uji materi Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Aturan itu mengenai pembatasan ruang lingkup penggunaan hak angket DPR RI yang baru didaftarkan pada Selasa (20/6/2017), kemarin oleh beberapa elemen masyarakat.  

Para Pemohonnya adalah Achmad Saifudin Firdaus selaku Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan  Konstitusi (FKHK) & Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum UGM (Pemohon I), Bayu Segara selaku Sekjen FKHK & Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum UGM (Pemohon II), Yudhistira Rifky Darmawan Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta (Pemohon III).

Dan, Dosen Ilmu Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Bina Marta & Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Tri Susilo sebagai Pemohon IV.

Para pemohon mengujikan norma Pasal 79 ayat (3) UU MD3 lantaran didasari polemik pembentukan pansus hak angket DPR terhadap KPK yang terkesan dipaksakan. “Memang pembentuka pansus hak angket KPK ini terkesan dipaksakan,” kata Kordinator Kuasa Hukum Pemohon, Victor Santoso Tandiasa saat dikonfirmasi, Rabu (21/6/2017). Baca Juga: Pansus Angket KPK Versus Probabilitas Pemanggilan Paksa dan Penyanderaan

Selengkapnya, Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menyebutkan “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”

Pemohon memandang demi kepastian hukum yang adil, MK perlu menegaskan secara inkonstitusional bersyarat norma Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 jika dimaknai lain selain yang sudah secara ekplisit dari penjelasan pasal tersebutyang menyatakan: “Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.”  

Karena itu, dia menilai frasapelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah” dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, praktik menimbulkan pemaknaan berbeda dan ketidakpastian hukum yang menjadi problem konstitusional.   

Baginya, sebenarnya lingkup hak angket yang dimiliki oleh DPR telah jelas dan tegas diatur dalam norma Pasal 79 ayat (3) UU MD3, khususnya pada frasa “pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah”. Namun, menurut Victor perluasan lingkup Hak Angket yang saat ini dilakukan DPR tanpa melakukan perubahan pasal ituterlebih dahulu bentuk kesewenang-wenangan DPR dalam memaknai norma tersebut.

Padahal, kata Victor, dalam penjelasan norma pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemerintah, yakni pelaksana suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintahan non-kementerian.

“Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip konstitusionalisme yang menekankan adanya pembatasan kekuasaan atas lembaga-lembaga penyelenggara negara melalui peraturan perundang-undangan,” katanya. Baca Juga: KPK Dinilai Contempt of Parliament

Victor melanjutkan KPK sedang menghadapi Pansus Angket yang telah dibentuk DPR. Dimana Partai-partai yang awalnya menolak pembentukan pansus angket menjadi tidak berdaya, selain ikut masuk menjadi bagian dari pansus dengan alasan agar bisa memantau dan bersuara dalam Pansus tersebut.

“Ini berpotensi membahayakan proses bernegara, khususnya bagi proses penegakan hukum di Indonesia. Karena bisa saja terjadi, ketika lembaga penegak hukum menjalankan kewenangan yang bersentuhan dengan kepentingan oknum anggota DPR,” ujarnya.

Maka, DPR dapat mengintervensi dengan melakukan penyelidikan terhadap lembaga yang sedang melaksanakan kewenangannya, seperti yang dialami KPK. “Dimana saat ini KPK sedang mengungkap kasus korupsi e-KTP yang melibatkan banyak oknum anggota DPR tiba-tiba dibentuk Pansus Angket untuk KPK dengan alasan sebagai momen untuk memperkuat KPK,” katanya.
Tags:

Berita Terkait