Kekeliruan Pengaturan Kejahatan Siber dalam RKUHP
Kolom

Kekeliruan Pengaturan Kejahatan Siber dalam RKUHP

Terdapat tiga alasan sebagai kontra narasi kepada para pihak yang tetap ingin memasukkan pasal penghinaan presiden atau wakil presiden dalam RKUHP.

Bacaan 5 Menit
Hemi Lavour Febrinandez. Foto: Istimewa
Hemi Lavour Febrinandez. Foto: Istimewa

Pengaturan ketentuan pidana terkait dengan kejahatan siber (cybercrime) merupakan satu hal yang cukup rumit. Selain ruang berlakunya ketentuan pidana hingga tindakannya yang bersifat maya, pengklasifikasian sanksinya pun harus disusun dengan hati-hati. Apakah perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pribadi atau menimbulkan kerugian yang lebih luas dan terukur di lingkungan sosial masyarakat.

Rencana Pemerintah untuk memasukan delik terkait dengan kejahatan siber dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) butuh ditelaah dengan baik. Salah satu ketentuan yang disorot oleh publik adalah pasal penghinaan presiden atau wakil presiden. Rumusan pasal tersebut disampaikan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ketika mensosialisasikan RKHUP di pelbagai daerah sebagai bentuk dari pelibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam pembentukan undang-undang.

Delik tersebut tidak hanya mengatur tentang penghinaan presiden atau wakil presiden di ruang fisik seperti yang pernah ada di KUHP sebelum dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya. Namun, juga terdapat pemberatan ancaman pidana ketika perbuatan itu dilakukan di media sosial. Pasal 219 RKUHP memberikan ancaman pidana berupa penjara paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV. Ketentuan ini hanya menambah sengkarut pengaturan mengenai kejahatan siber di Indonesia.

Harus diingat, bahwa rencana untuk mengatur ketentuan pemidanaan di ruang digital melalui satu buku—yaitu KUHP—merupakan salah satu hal yang patut diapresiasi. Berdasarkan studi kebijakan The Indonesian Institue (2021) yang berjudul “Mendorong dan Melindungi Kebebasan Berekspresi Warga Negara terhadap Pemerintah dalam Ruang Digital di Indonesia”, terdapat sebuah rekomendasi yang serupa, dalam konteks pengaturan tentang pidana dan pemidanaan di ruang digital.

Contohnya yaitu dengan merevisi beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan mengembalikan beberapa sanksi pidana yang terdapat dalam UU ITE yang harus dikembalikan ke KUHP, seperti Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Termasuk ketentuan hukum acara khusus sebagaimana dalam Pasal 43 UU ITE, cukup diatur dalam KUHAP dengan memberi ruang kepada polisi untuk melakukan penyidikan di dunia maya. Hal ini agar polisi dibatasi oleh ketentuan yang terdapat dalam KUHAP.

Pengaturan tentang pemidanaan di ruang digital terkait dengan tindak pidana konvensional, seperti penghinaan dan pencemaran nama baik, akan menjadi lebih baik apabila hanya diatur di dalam KUHP. Namun, proses perubahannya akan menjadi bermasalah apabila terdapat pasal-pasal yang coba untuk diselundupkan dalam proses pembahasannya. Salah satunya adalah pasal penghinaan presiden atau wakil presiden.

Terdapat tiga alasan sebagai kontra narasi kepada para pihak yang tetap ingin memasukkan pasal penghinaan presiden atau wakil presiden dalam RKUHP. Pertama, delik penghinaan ini sebenarnya telah dinyatakan inkonstitusional melalui Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Oleh karena itu, menjadi satu pertanyaan sendiri mengapa pembentuk undang-undang tetap berupaya untuk menghidupkan pasal-pasal tersebut.

Tags:

Berita Terkait