Diusulkan RUU PKS Diubah Jadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Terbaru

Diusulkan RUU PKS Diubah Jadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Karena kata "penghapusan" terkesan sangat abstrak dan mutlak karena penghapusan berarti hilang sama sekali menjadi sesuatu yang mustahil dicapai di dunia ini. Karena itu, dipandang tepat menggunakan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Tim Badan Legislasi (Baleg) DPR mengusulkan perubahan nama Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sebab, kekerasan seksual dipandang sebagai tindak pidana khusus, sehingga kata “penghapusan” dianggap kurang tepat.  

"Terkait aspek judul, sesuai dengan pendekatan hukum dalam kerangka penyusunan, kekerasan seksual sebagai pidana khusus, maka judul sebaiknya menjadi RUU tentang Tindak Pidana kekerasan Seksual," kata perwakilan tim penyusun, Barus Sabari dalam Rapat Pleno Penyusunan Draf RUU di Gedung Senayan Jakarta, Senin (30/8/2021) seperti dikutip Antara.

Barus beralasan menjelaskan kata "penghapusan" terkesan sangat abstrak dan mutlak karena penghapusan berarti hilang sama sekali menjadi sesuatu yang mustahil dicapai di dunia ini. "Karena itu, kami memandang tepat dengan menggunakan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual," ujar Barus.

Dia mengatakan terdapat tiga pendekatan hukum dalam kerangka penyusunan RUU PKS ini. Pendekatan itu yakni kekerasan seksual sebagai tindak pidana khusus dimana perbuatan dirumuskan dengan menyebut unsur-unsur sekaligus hukuman dari tindak pidana tersebut. Pendekatan selanjutnya melalui perspektif korban dimana hukum pidana pada umumnya beorientasi pada penindakan pelaku.

“RUU PKS berorientasi pada korban tanpa menghilangkan hukum bagi pelakunya. Ini membedakan RUU ini dengan UU pidana lainnya," ujar Barus. (Baca Juga: Komnas Perempuan Minta RUU PKS Segera Disahkan)

Selanjutnya, pendekatan hukum acara dimana menggunakan basis Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan aturan-aturan khusus sesuai karakter kekerasan seksual dalam RUU ini.

Barus menjelaskan urgensi pengaturan dalam RUU PKS dimana data Komnas Perempuan sepanjang tahun 2011-2019 mencatat 46.698 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal, rumah tangga, dan publik. Dari jumlah itu, kata Barus, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik berupa perkosaan 9.039 kasus; pelecehan seksual 2.861 kasus; dan cyber crime bernuansa seksual 91 kasus.

Dia mengatakan Pancasila dan UUD tahun 1945, khususnya dalam Pasal 28G ayat (1), antara lain ditentukan bahwa setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. Sementara, kekerasan seksual merupakan tindakan mengganggu rasa aman dan kebebasan seseorang serta dapat menimbulkan penderitaan fisik dan psikologis korban.

Tags:

Berita Terkait