Akademisi: Tidak Ada Urgensi Amendemen Konstitusi Bila Hanya Memasukkan Materi GBHN
Terbaru

Akademisi: Tidak Ada Urgensi Amendemen Konstitusi Bila Hanya Memasukkan Materi GBHN

Perubahan konstitusi seharusnya selaras dengan momentumnya, seperti amandemen konstitusi 1999-2002 karena ketika itu Indonesia baru lepas dari pemerintahan otorianisme. Perubahan konstitusi harus mendapat dukungan dari rakyat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Pengajar STH Indonesia Jentera Bivitri Susanti saat  diskusi bertajuk 'Original Intent (Maksud Asli) Penghapusan GBHN dari UUD 1945', secara daring, Kamis (9/9/2021). Foto: ADI
Pengajar STH Indonesia Jentera Bivitri Susanti saat diskusi bertajuk 'Original Intent (Maksud Asli) Penghapusan GBHN dari UUD 1945', secara daring, Kamis (9/9/2021). Foto: ADI

Wacana amendemen kelima konstitusi yang muncul dalam rekomendasi MPR periode 2014-2019 terus menuai sorotan publik antara lain dari kalangan akademisi. Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan perubahan konstitusi harus ada momentumnya. Misalnya, amendemen keempat tahun 1999-2002 dilakukan karena Indonesia baru lepas dari pemerintahan otoritarianisme.

“Begitu pula perubahan konstitusi yang dilakukan negara lain, harus selaras dengan momentum yakni memang sesuai kebutuhan konkret,” kata Bivitri Susanti dalam diskusi bertajuk “Original Intent (Maksud Asli) Penghapusan GBHN dari UUD 1945”, secara daring, Kamis (9/9/2021). (Baca Juga: Amandemen Konstitusi Perlu Kajian dan Uji Publik Mendalam)

Bivitri melanjutkan ada juga perubahan konstitusi yang didorong oleh kepentingan elit atau kalangan partai politik. Misalnya, Guinea yang mengubah konstitusi untuk memperpanjang jabatan Presiden sampai 3 periode, tapi kemudian dikudeta. Menurutnya perubahan konstitusi karena dorongan kalangan elit tujuannya untuk melegalkan kepentingan elit tersebut agar mereka tidak melanggar konstitusi, sehingga konstitusi itu sendiri yang diubah.

“Ini bukan fenomena baru, ada istilah konstitusional otoritarianisme,” ujarnya.

Menurut Bivitri, beberapa pandangan mengusulkan amendemen kelima menginginkan untuk mengembalikan GBHN dengan sebutan pokok-pokok haluan negara (PPHN). Padahal, setelah amendemen keempat (tahun 2002), GBHN sudah tidak relevan lagi karena sistem pemilu presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan lagi oleh MPR. Berbeda dengan konstitusi sebelumnya dimana mandat Presiden berasal dari MPR dan oleh karena itu MPR berwenang menetapkan GBHN.

“Selama ini presiden mendapatkan mandatnya dari warganya melalui pemilihan presiden, sehingga tidak membutuhkan GBHN dan tidak ada implikasi hukum jika seandainya presiden melanggar GBHN,” kata Bivitri.

Bivitri mengingatkan setidaknya 4 hal. Pertama, MPR tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga tertinggi yang memegang seluruh kedaulatan rakyat. Kedua, susunan MPR yang tadinya terdiri dari anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan diubah menjadi 2 unsur yaitu DPR dan DPD.

Ketiga, MPR tidak memilih presiden dan wakil presiden, sehingga tidak memberi mandat berupa GBHN dan tidak bisa memberhentikan presiden dan wakil presiden karena melanggar GBHN. Keempat, MPR hanya eksis ketika melakukan 3 tugas konstitusionalnya yakni melantik Presiden dan Wakil Presiden pilihan rakyat; mengamandemen konstitusi; dan pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden. MPR juga melaksanakan 1 konvensi ketatanegaraan untuk bersidang setiap 16 Agustus.

Bagi Bivitri, saat ini tidak ada urgensi melakukan amendemen konstitusi, apalagi bila hanya untuk memasukkan GBHN. Ada banyak persoalan besar yang harus dibenahi, seperti turunnya indeks demokrasi di Indonesia, indeks perspektif korupsi, dan pandemi Covid-19. Lebih baik MPR fokus pada tugas-tugasnya sebagai anggota DPR dan DPD. “Amendemen konstitusi tidak haram, tapi bukan sekarang,” tegasnya.

Mantan Panitia Ad Hoc I Perubahan UUD 1945, Zain Badjeber, mengatakan dihapusnya GBHN dalam konstitusi merupakan konsekuensi dari perubahan sistem MPR dan pemilihan Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Perubahan itu menempatkan Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR dan hak impeachment yang dimiliki MPR muncul ketika terjadi pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil Presiden, bukan karena pelanggaran GBHN.

Zain menekankan jika GBHN ingin digunakan lagi, maka dalam amendemen konstitusi harus menetapkan MPR kembali sebagai lembaga tertinggi negara yang memegang kedaulatan rakyat secara penuh. “Ini tidak sederhana, selain itu perubahan konstitusi harus mendapat dukungan dari rakyat,” ujarnya mengingatkan.

Tags:

Berita Terkait