Konsep strict liability dan force majeure sering ditemukan dalam perkara perdata lingkungan hidup, khususnya terkait kehutanan. Istilah strict liability kerap diterjemahkan sebagai ‘tanggung jawab mutlak’ seperti yang digunakan dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) jo. UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Di sisi lain, ada konsep force majeure yang bisa menjadi alasan pembelaan dalam perkara perdata. Pertanyaan yang muncul, sejauh mana alasan force majeure bisa berlaku untuk mengelak dari ‘tanggung jawab mutlak’ yang digunakan dalam rezim hukum lingkungan di Indonesia?
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menerbitkan laporan riset pada Juli 2020 lalu berjudul Laporan Kajian Putusan Perkara Lingkungan Hidup. Riset ini menganalisis sebanyak 643 putusan perkara lingkungan hidup dalam rentang waktu tahun 2003 hingga 2019 yang tersedia dalam direktori putusan Mahkamah Agung.
Tercatat ada 73 putusan perdata lingkungan yang meliputi tingkat pertama hingga peninjauan kembali. Sebanyak 13 putusan memuat konsep strict liability dan 9 putusan menyinggung soal force majeure untuk perkara perdata lingkungan. Strict liability dan force majeure paling banyak ditemukan dalam perkara permbakaran hutan dan pencemaran lingkungan.