Solusi Persoalan Overcrowding Lapas Butuh Perubahan Sistem Pemidanaan
Utama

Solusi Persoalan Overcrowding Lapas Butuh Perubahan Sistem Pemidanaan

Karena pemasyarakatan merupakan subsistem peradilan pidana, sebagai tempat pembuangan akhir. Bagi pemerintah solusi overcrowding dengan merevisi UU Narkotika, RUU KUHP, dan RUU Pemasyarakatan. Solusi lain memberikan amnesti/grasi massal bagi terpidana pengguna narkotika.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Tangerang yang terjadi beberapa waktu lalu menuai keprihatinan banyak pihak. Peristiwa itu merenggut korban jiwa puluhan orang narapidana. Ada beragam pendapat yang muncul di masyarakat mengenai sebab kebakaran tersebut.

Situasi lapas yang kelebihan penghuni (overcrowding) disebut sebagai salah satu pemicu terjadinya peristiwa tersebut. Persoalan overcrowding itu juga kerap dikaitkan dengan kebijakan penghukuman yang diterapkan melalui UU Narkotika dan minimnya penggunaan alternatif pemidanaan nonpemenjaraan dalam UU lain.

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof Eddy O.S Hiariej mengatakan kelebihan penghuni lapas bukan kesalahan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Menurutnya, lapas merupakan subsistem peradilan pidana, sehingga kerap diistilahkan sebagai tempat pembuangan akhir. Lapas tidak bisa menolak orang yang telah diputus pengadilan dan ditempatkan di lapas. Begitu juga tidak bisa menolak eksekusi yang diajukan jaksa.

“Persoalannya itu ada pada substansi hukum, kerja peradilan pidana kerap mempidana orang. Aparat penegak hukum dan masyarakat masih berkutat pada hukum pidana zaman Hammurabi, sebagai sarana balas dendam. Masalah overcrowding lapas ini tidak bisa ditangani (diatasi, red) dengan cara membangun lapas baru,” kata Prof Eddy dalam diskusi secara daring yang diselenggarakan STH Indonesia Jentera bertajuk “Memadamkan Kebakaran Lapas: Evaluasi Menyeluruh Kebijakan Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Selasa (21/9/2021).

Guna mengatasi persoalan overcrowding, Prof Eddy berpendapat yang paling utama itu mengubah UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Meski Pasal 127 UU Narkotika membuka peluang bagi pengguna narkotika untuk direhabilitasi, tapi cara berpikir aparat melakukan pemidanaan sangat kuat, sehingga yang digunakan Pasal 112 yang memuat ancaman pidana penjara. Akibatnya, 80 persen penghuni lapas merupakan pengguna narkotika, dan 85 persen dari jumlah itu merupakan pengguna narkotika di bawah 0,5 gram.

Selain merevisi UU Narkotika, Prof Eddy menyebut RUU KUHP sudah diselaraskan dengan RUU Pemasyarakatan yang berorientasi pada hukum pidana modern. Sekalipun penjara masih menjadi pidana pokok, tapi sifatnya bukan utama karena ada alternatif seperti denda, kerja sosial, pengawasan, dan percobaan. Misalnya, jika pidana yang diberikan 4 tahun bisa dilakukan alternatif dengan pidana kerja sosial. (Baca Juga: Ini Penyebab Mandeknya Pembahasan RUU Narkotika)

Menurut Prof Eddy, keberhasilan pidana modern bukan pada berapa banyak pelaku yang ditangkap, tapi bagaimana mencegah terjadinya kejahatan. Kalaupun telah terjadi kejahatan, tidak selamanya berujung pada pidana penjara, tapi ada pidana alternatifnya. “Solusi ke depan penting perubahan mendasar mindset aparat penegak hukum dan masyarakat bahwa hukum pidana modern berorientasi pada keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait