Polri Diminta Memastikan Penghormatan-Perlindungan Hak Privasi
Terbaru

Polri Diminta Memastikan Penghormatan-Perlindungan Hak Privasi

Dalam seluruh kerja-kerja kepolisian, termasuk segala jenis upaya paksa. Kasus penggeledehan dan pemeriksaan telepon genggam milik warga oleh anggota Polri dinilai melanggar Pasal 30 UU ITE dan KUHAP sebagai bentuk tindakan sewenang-wenang terhadap privasi seseorang.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

"Jangan kau bilang privasi, dimana undang-undangnya, adu data sama saya,” ungkap seorang polisi saat melakukan penggeledahan pada seorang pemuda. Tayangan salah satu televisi itu menunjukkan sebuah penggeledahan secara acak di Jalan Cipinang Indah, Jakarta Timur. Video ini pertama kali ditayangkan di saluran Youtube Trans TV Official pada 19 Desember 2019.

Perdebatan bermula saat pemuda yang tengah digeledah tidak diterima ketika telepon genggamnya diperiksa oleh polisi. Menurutnya, telepon genggam tersebut merupakan bagian dari privasinya, sehingga ia menolak barang miliknya tersebut diperiksa. Tayangan ini memunculkan sejumlah pertanyaan terkait sejauh mana kerja-kerja kepolisian dibatasi oleh hak atas privasi.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai tindakan tersebut salah satu perbuatan yang dilarang Pasal 30 ayat (1) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait akses illegal terhadap sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun dan dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan. Artinya, setiap perbuatan mengakses sistem elektronik yang berada di bawah penguasaan orang lain secara sengaja dan tanpa hak merupakan tindak pidana.

“Pertanyaannya, apakah polisi memiliki hak mengakses sistem elektronik seseorang dalam suatu tindakan penggeledahan?” ujar Wahyudi Djafar dalam keterangannya, Selasa (19/10/2021). (Baca Juga: Kapolri Ancam Pecat dan Pidanakan Anggotanya yang Langgar Aturan)  

Penggeledahan merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik, termasuk penyidik kepolisian. Dalam hal ini penyidik dapat memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang (Pasal 32 KUHAP).

Menurut Wahyudi, upaya penggeledehan ini hanya dilakukan dalam dua kondisi yakni tertangkap tangan atau adanya izin dari ketua pengadilan negeri setempat. Agar tindakan penggeledahan lawful sebagai bagian dari proses penyidikan, maka terlebih dahulu ada perbuatan pidana atau dugaan tindak pidana yang tengah disidik. Penggeledahan menjadi salah satu upaya paksa terhadap tersangka dalam rangka pencarian alat bukti.

Karena itu, tindakan polisi menggeledah secara paksa seseorang di tengah jalan dan bukan bagian dari proses penyidikan, dapat dikatakan sebagai tindakan sewenang-wenang terhadap privasi seseorang. Selain bermasalah dalam kacamata hukum acara, tindakan polisi menyamakan identitas dan telepon genggam adalah kekeliruan. “Telepon genggam dan isinya, dalam suatu proses pidana harus dilihat sebagai alat bukti elektronik. Bahkan seluruh data dari telepon genggam tersebut bagian dari data pribadi yang harus dilindungi, tidak boleh dibuka secara semena-mena.”

Tags:

Berita Terkait