Putusan MK Tidak Ditindaklanjuti, Langkah-Langkah Ini Perlu Diambil
Terbaru

Putusan MK Tidak Ditindaklanjuti, Langkah-Langkah Ini Perlu Diambil

Ternyata, tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi dipatuhi dan ditindaklanjuti Pemerintah dan DPR. Dokumen rencana pembangunan nasional tidak memasukkan putusan pengadilan sebagai sumber hukum pembentukan perundang-undangan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Putusan Mahkamah Konstitusi belum sepenuhnya ditindaklanjuti. Foto Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Putusan Mahkamah Konstitusi belum sepenuhnya ditindaklanjuti. Foto Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk antara lain menguji Undang-Undang terhadap UUD. Putusan Mahkamah Konstitusi langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum untuk mengubahnya. Kekuatan putusan itu ditegaskan kembali dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diubah terakhir adalah UU No. 7 Tahun 2020).

Dalam praktik, ternyata muncul persoalan hukum berkaitan dengan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Ni’matul Huda menengarai ada sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak ditindaklanjuti Pemerintah dan DPR dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Malah ada norma yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi dihidupkan kembali oleh Pemerintah/DPR ke dalam RUU. “Permasalahan tersebut disebabkan adanya kelemahan pada tahap perencanaan legislasi nasional,” paparnya dalam diskusi buku ‘Politik Hukum Yudisial Sumber Pembangunan Hukum Nasional’ secara daring, Sabtu (6/11).

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Program Legislasi Nasional mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai politik hukum yudisial. Politik hukum yang lahir dari putusan peradilan (politik hukum yudisial) belum sepenuhnya ditranformasikan menjadi bagian dari politik hukum legislasi nasional. Padahal, menurut Ni’matul Huda, politik hukum yudisial dapat menjadi sumber dalam pembangunan hukum nasional.

Ini disebutkan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ada lima materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang: pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945; perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; pengesahan perjanjian internasional tertentu; tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat. Ditegaskan secara khusus bahwa tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh DPR atau Presiden.

Sebelumnya, Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, menegaskan politik hukum bukan lagi domain legislatif dan eksekutif, tetapi juga menjadi domain badan peradilan melalui putusan-putusannya. Mahkamah Konstitusi, misalnya, sudah berkali-kali, melalui putusan,, memberi arah politik hukum ke depan. Terlebih, setelah amandemen UUD 1945, Mahkamah Konstitusi diberi ruang sebagai penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of the constitution). Menurut Arief, putusan Mahkamah Konstitusi bukan hanya ius constitutum, tetapi juga acapkali mengandung ius constituendum.

Irfan Nur Rachman, penulis buku, menjelaskan penulisan buku ini berangkat dari pertanyaan mengapa ada putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak ditindaklanjuti Pemerintah dan DPR padahal putusan Mahkamah bersifat erga omnes. Sebagian memang ditindaklanjuti lewat perubahan Undang-Undang, tetapi sebagian lagi tiidak. Artinya, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dilakukan parsial dan serampangan. “Asumsi awalnya, pasti ada yang salah,” kata peneliti ahli pada Mahkamah Konstitusi itu pada diskusi yang sama.

(Baca juga: Haram Menghidupkan Norma yang Dibatalkan MK).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, Jimmy Z. Usfunan, menyebut tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari perspektif kepatuhan. Bagaimanapun, DPR dan Pemerintah berkewajiban mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan itu merupakan politik hukum yang mempunyai dimensi sebagai dasar pembentukan Undang-Undang, dan memberi arah untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan hukum di masa mendatang. “Putusan Mahkamah Konstitusi adalah pembaharuan hukum dan politik hukum,” ujarnya.

Untuk mencegah pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terjadi, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Ni’matul Huda menyebutkan tiga langkah yang diperlukan. Pertama, merevisi UUD 1945 dan UU Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ‘final dan mengikat’. Selama ini Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 hanya menyebutkan kata ‘final’, sehingga ditafsirkan seolah-olah tidak mengikat. Kedua, memasukkan klausula ke dalam perubahan UU Mahkamah Konstitusi dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Isinya: pembentuk UU tidak boleh memuat kembali materi muatan pasal, ayat, atau bagian dari UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, perlu ditegaskan pembentuk UU tidak boleh memuat ketentuan yang berbeda dari materi muatan pasal, ayat, atau bagian dari UU yang telah ditafsirkan oleh makna. Dengan kata lain, penafsiran Mahkamah Konstitusi itulah yang dijadikan rujukan atau sumber hukum dalam proses penyusunan legislasi. Ketiga, menetapkan sanksi berupa ‘politik anggaran’ pada institusi-institusi pemerintah dan lembaga negara yang telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi.

Tags:

Berita Terkait