Putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja langsung menuai polemik, terutama implikasi konstitusional bersyaratnya. Untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji formil undang-undang terhadap UUD. Lewat putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan waktu dua tahun kepada Pemerintah dan DPR untuk melakukan perbaikan.
Selama dua tahun itu pula pemerintah tidak boleh membuat kebijakan strategis dan membuat aturan turunan UU Cipta Kerja. Jika dalam waktu dua tahun pembentuk Undang-Undang tidak melakukan perbaikan, maka apakah UU Cipta Kerja praktis tidak berlaku secara permanen atau tetap berlaku? Jawabannya ada dalam angka 4 amar putusan yang menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam putusan itu.
Ada beragam tanggapan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yang pada pokoknya memperlihatkan perbedaan pandangan terutama apakah yang akan diperbaiki sekadar proses pembentukannya, atau menyangkut substansi. Kalau ya, bagian mana atau pasal-pasal mana saja yang harus diperbaiki?
Apakah dengan memperbaiki UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan memasukkan mekanisme omnibus law, sudah cukup menjadikan UU Cipta Kerja menjadi konstitusional? Terlepas dari polemik para akademisi, praktisi dan organisasi masyarakat sipil, mau tidak mau putusan Mahkamah Konstitusi harus dijalankan. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes, tidak ada upaya hukum lain untuk membatalkannya.