KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Adakah Pengakuan Formal Atas Eksistensi Kerajaan Baru di Indonesia?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Adakah Pengakuan Formal Atas Eksistensi Kerajaan Baru di Indonesia?

Adakah Pengakuan Formal Atas Eksistensi Kerajaan Baru di Indonesia?
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Adakah Pengakuan Formal Atas Eksistensi Kerajaan Baru di Indonesia?

PERTANYAAN

Tampaknya, di Indonesia sedang tren sekelompok orang yang mendirikan kerajaan-kerajaan baru yang bermacam-macam namanya. Apakah mendirikan kerajaan baru di NKRI saat ini diperbolehkan? Bagaimana kedudukannya di dalam sistem ketatatanegaraan nantinya? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Indonesia telah secara tegas tidak berbentuk monarki. Hal ini tergambar dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan, yang berbentuk republik.
     
    Pada dasarnya, tidak ada larangan untuk mendirikan kerajaan di Indonesia. Namun apabila merujuk pada uraian di dalam konstitusi, pengakuan formal atas eksistensi kerajaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia relatif tidak ada karena kekuasaan pemerintahan dipegang oleh presiden dan pembagian pemerintah daerah pun terbatas pada provinsi, kabupaten, dan kota, bukan kerajaan.
     
    Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Bentuk-Bentuk Pemerintahan
    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, ada perlunya kita mengetahui terlebih dahulu bentuk-bentuk pemerintahan yang dikenal dalam kajian ilmu negara.
     
    Menurut Jellinek, sebagaimana dikutip Isrok dan Dhia Al Uyun dalam buku Ilmu Negara: Berjalan dalam Dunia Abstrak, bentuk pemerintahan setidaknya terbagi dalam bentuk monarki dan republik. Apabila cara terjadinya karena psikologis atau secara alamiah dalam jiwa sebagai kemauan individu, maka bentuk negaranya monarki. Sedangkan jika terjadinya secara yuridis, sengaja dibuat karena kemauan banyak orang atau dewan, maka bentuk negaranya republik (hal. 51).
     
    Terkait pertanyaan Anda, monarki juga diartikan oleh Kranenburg, yang dikutip dalam buku yang sama, sebagai negara yang dikepalai oleh seorang raja atau ratu yang bersifat turun temurun dan menjabat tanpa batas atau seumur hidup (hal. 55).
     
    Negara Indonesia telah secara tegas tidak berbentuk monarki. Hal ini tergambar dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi:
     
    Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
     
    Berbeda dengan monarki, kekuasaan pemerintahan Indonesia dipegang oleh presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan berkuasa selama periode jabatan 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.[1]
     
    Negara Indonesia pun pada dasarnya tidak mengakui dan tidak terbagi ke dalam kerajaan-kerajaan. Alih-alih, Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.[2]
     
    Gubernur, bupati, dan walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis.[3]
     
    Berdasarkan penelusuran kami, pada dasarnya tidak ada larangan untuk mendirikan kerajaan di Indonesia. Namun apabila merujuk pada uraian di atas, pengakuan formal atas eksistensi kerajaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia relatif tidak ada karena kekuasaan pemerintahan dipegang oleh presiden dan pembagian pemerintah daerah pun terbatas pada provinsi, kabupaten, dan kota, bukan kerajaan.
     
    Kerajaan yang Masih Diakui Secara Formal di Indonesia
    Namun demikian, masih ada kerajaan yang diakui secara formal eksistensinya di Indonesia, dan masuk dalam hierarki pemerintahan berdasarkan konstitusi. Pengakuan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi:
     
    Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
     
    Dalam hal ini, kerajaan yang dimaksud adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta (“DIY”). Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (“UU DIY”):
     
    Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
     
    Kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur, kelembagaan pemerintah daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.[4]
     
    Contoh kekhasan dalam pengisian jabatan di DIY terletak pada salah satu syarat calon gubernur DIY, yaitu harus bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono.[5] Sultan merupakan pemimpin dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang merupakan warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun.[6]
     
    Namun, patut diperhatikan bahwa kewenangan istimewa DIY berada di tingkat provinsi,[7] sehingga meski Kasultanan diakui, namun diberikan keistimewaan dan diakui dalam bentuk provinsi secara formal.
     
    Salah satu keistimewaan lain DIY adalah dalam bidang pertanahan.
     
    Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Kasultanan. Tanah Kasultanan meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY.[8]
     
    Kasultanan berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.[9]
     
    Tanah keprabon adalah tanah yang digunakan untuk bangunan istana dan kelengkapannya, seperti Pagelaran, Kraton, Sripanganti, tanah untuk makam Raja dan kerabatnya (di Kotagede, Imogiri, dan Giriloyo), alun-alun, masjid, taman sari, pesanggrahan, dan petilasan. Tanah bukan keprabon terdiri atas dua jenis tanah, yaitu tanah yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak (magersari, ngindung, hak pakai, hutan, kampus, rumah sakit, dan lain-lain) dan tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak.[10]
     
    Uraian selengkapnya mengenai tanah Kasultanan dapat Anda simak dalam artikel Status Hukum Tanah Kasultanan Yogyakarta.
     
    Jika Kerajaan Tidak Mengakui NKRI
    Di sisi lain, apabila sebuah kerajaan yang baru didirikan tidak mengakui dan menyatakan memisahkan diri dari Indonesia, pendirinya dapat dijerat dengan Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
     
    Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
     
    Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kedaulatan dapat dirusak dengan dua macam cara (hal. 109):
    1. menaklukkan daerah negara seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintah negara asing yang berarti menyerahkan daerah itu (seluruhnya) atau sebagian kepada kekuasaan negara asing, misalnya daerah Indonesia (seluruhnya) atau daerah kalimantan (sebagian) diserahkan kepada pemerintah Inggris; atau
    2. memisahkan sebagian dari daerah negara itu yang berarti membuat bagian daerah itu menjadi suatu negara yang berdaulat sendiri, misalnya memisahkan daerah Aceh atau Maluku dari daerah Indonesia untuk dijadikan negara yang berdiri sendiri.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     
    Referensi:
    1. Isrok dan Dhia Al Uyun. Ilmu Negara: Berjalan dalam Dunia Abstrak. Malang: UB Press. 2012;
    2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. 1991.
     

    [1] Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 7 UUD 1945
    [2] Pasal 18 ayat (1) UUD 1945
    [3] Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
    [4] Pasal 7 ayat (2) UU DIY
    [5] Pasal 18 ayat (1) huruf c UU DIY
    [6] Pasal 1 angka 4 UU DIY
    [7] Pasal 6 UU DIY
    [8] Pasal 32 ayat (2) dan (4) UU DIY
    [9] Pasal 32 ayat (5) UU DIY
    [10] Penjelasan Pasal 32 ayat (4) UU DIY

    Tags

    hukumonline
    lembaga pemerintah

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ini Cara Mengurus Akta Nikah yang Terlambat

    30 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!