KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jenis-jenis Korupsi dan Hukumnya di Indonesia

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Jenis-jenis Korupsi dan Hukumnya di Indonesia

Jenis-jenis Korupsi dan Hukumnya di Indonesia
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jenis-jenis Korupsi dan Hukumnya di Indonesia

PERTANYAAN

Baru-baru ini viral kasus suami public figure di Indonesia yang menjadi tersangka korupsi timah. Menurut berita yang beredar, dugaan kerugian lingkungan dalam kasus timah capai Rp271 T. Yang saya tanyakan, apa saja sih bentuk-bentuk korupsi dan bagaimana aturannya di Indonesia? Apakah benar terdapat 7 jenis korupsi?Apa saja bentuk-bentuk korupsi dan bagaimana aturannya di Indonesia?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Dalam UU 31/1999 dan perubahannya dirumuskan jenis-jenis tindak pidana korupsi sebanyak 30 jenis yang dapat disederhanakan menjadi 7 kelompok, yaitu korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

     

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Bentuk-bentuk Korupsi dan Aturannya di Indonesia yang dibuat oleh Dr. Flora Dianti, S.H., M.H dan pertama kali dipublikasikan pada 18 Juni 2020, dan dimutakhirkan pertama kali pada 21 Oktober 2022.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Pidana

    Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Pidana

    Pengertian Tindak Pidana Korupsi

    Korupsi berasal dari Bahasa Latin “corruptus” dan “corruptio” yang secara harafiah berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian.[1] Sedangkan menurut KBBI, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

    Selain itu, beberapa definisi pakar menyatakan:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
    1. Baharuddin Lopa mengartikan korupsi sebagai suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi, dan perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, serta merugikan kesejahteraan dan kepentingan umum.[2]
    2. Subekti dan Citrisoedibio menyatakan bahwa korupsi adalah perbuatan curang, dan tindak pidana yang merugikan negara.[3]

    Baca juga: Penjatuhan Pidana Denda bagi Koruptor

    Lantas, apa saja jenis-jenis korupsi?

    7 Jenis Korupsi

    Korupsi diatur di dalam 13 pasal di UU 31/1999 dan perubahannya yang kemudian dirumuskan menjadi 30 jenis-jenis tindak pidana korupsi. Ketiga puluh jenis tersebut disederhanakan ke dalam 7 jenis tindak pidana korupsi, yaitu korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.[4]

    Jenis-jenis korupsi tersebut akan dijelaskan dalam pembahasan berikut.

    1. Merugikan Keuangan Negara

    Pengertian murni merugikan keuangan negara adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), dan penyelenggara negara yang melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan tindak pidana korupsi.[5]

    Jenis korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116 – 117). Adapun unsur-unsur korupsi yang mengakibatkan kerugian negara dalam kedua pasal tersebut adalah:[6]

    Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016

    Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016

    1. Setiap orang;
    2. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
    3. Dengan cara melawan hukum;
    4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

     

    1. Setiap orang;
    2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
    3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana;
    4. Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
    5. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

    Adapun orang yang melanggar Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 dapat dipidana penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dan denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

    Sedangkan orang yang melanggar Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun, dan/atau denda minimal Rp50 juta atau maksimal Rp1 miliar.

    2. Suap-menyuap

    Suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan pengguna jasa secara aktif memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud agar urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur. Suap-menyuap terjadi terjadi jika terjadi transaksi atau kesepakatan antara kedua belah pihak.[7]

    Suap menyuap dapat terjadi kepada PNS, hakim maupun advokat, dan dapat dilakukan antar pegawai ataupun pegawai dengan pihak luar. Suap antar pegawai dilakukan guna memudahkan kenaikan pangkat atau jabatan. Sementara suap dengan pihak luar dilakukan ketika pihak swasta memberikan suap kepada pegawai pemerintah agar dimenangkan dalam proses tender.[8]

    Korupsi yang terkait dengan suap menyuap diatur di dalam beberapa pasal UU 31/1999 dan perubahannya, yaitu:

    1. Pasal 5 UU 20/2001;
    2. Pasal 6 UU 20/2001;
    3. Pasal 11 UU 20/2001;
    4. Pasal 12 huruf a, b, c, dan d UU 20/2001;
    5. Pasal 13 UU 31/1999.

    Contohnya, Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU 20/2001 dan Pasal 13 UU 31/1999 yang unsur-unsur pasalnya adalah sebagai berikut.[9]

    Pasal 5 ayat (1) huruf a UU 20/2001

    Pasal 5 ayat (1) huruf b UU 20/2001

    Pasal 13 UU 31/1999

    1. Setiap orang;
    2. Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu;
    3. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
    4. Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya.
    1. Setiap orang;
    2. Memberi sesuatu;
    3. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
    4. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya
    1. Setiap orang;
    2. Memberi hadiah atau janji;
    3. Kepada pegawai negeri;
    4. Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah/janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

    Ancaman pidana bagi orang yang melanggar Pasal 5 ayat (1) UU 20/2001 adalah pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun dan/atau pidana denda minimal Rp50 juta dan maksimal 250 juta.

    Sedangkan bagi orang yang melanggar Pasal 13 UU 31/1999, dapat dipidana penjara maksimal 3 tahun dan/atau denda maksimal Rp150 juta.

    3. Penggelapan dalam Jabatan

    Penggelapan dalam jabatan adalah tindakan dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan barang bukti suap untuk melindungi pemberi suap, dan lain-lain.[10]

    Adapun, ketentuan terkait penggelapan dalam jabatan diatur di dalam Pasal 8 UU 20/2001, Pasal 9 UU 20/2001 serta Pasal 10 huruf a, b dan c UU 20/2001.

    Contoh penggelapan dalam jabatan yang diatur dalam Pasal 8 UU 20/2001 memiliki unsur-unsur sebagai berikut.[11]

    1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan dalam menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu;
    2. Dengan sengaja;
    3. Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu;
    4. Uang atau surat berharga;
    5. Yang disimpan karena jabatannya.

    Kemudian, orang yang melanggar Pasal 8 UU 20/2001 berpotensi dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

    Menurut R. Soesilo, penggelapan memiliki kemiripan dengan arti pencurian. Bedanya dalam pencurian, barang yang dimiliki belum ada di tangan pencuri. Sedangkan dalam penggelapan, barang sudah berada di tangan pencuri waktu dimilikinya barang tersebut.[12]

    Baca juga: Penggelapan dalam Jabatan, Ranah Pidana atau Perdata?

    4. Pemerasan

    Pemerasan adalah perbuatan dimana petugas layanan yang secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya, walau melanggar prosedur. Pemerasan memiliki unsur janji atau bertujuan menginginkan sesuatu dari pemberian tersebut.[13]

    Pemerasan diatur dalam Pasal 12 huruf e, f, dan g UU 20/2001 memiliki unsur-unsur sebagai berikut.[14]

    Pasal 12 huruf e UU 20/2001

    Pasal 12 huruf f UU 20/2001

    Pasal 12 huruf g UU 20/2001

    1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara
    2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
    3. Secara melawan hukum;
    4. Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membaya, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuai bagi dirinya;
    5. Menyalahgunakan kekuasaan.
    1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
    2. Pada waktu menjalankan tugas;
    3. Meminta, menerima, atau memotong pembayaran;
    4. Kepada pegawai negeri/penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum;
    5. Seolah-olah pegawai negeri/penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum mempunyai utang kepadanya;
    6. Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
    1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
    2. Pada waktu menjalankan tugas;
    3. Meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang;
    4. Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya;
    5. Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

    Selanjutnya, orang yang melanggar ketentuan di atas dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana denda minimal
    Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

    5. Perbuatan Curang

    Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat membahayakan orang lain. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001 seseorang yang melakukan perbuatan curang diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp350 juta.

    Berdasarkan pasal tersebut, berikut adalah contoh perbuatan curang:

    1. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
    2. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas;
    3. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia (“TNI”) dan atau kepolisian melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
    4. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan atau kepolisian dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di atas.

    6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan

    Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12 huruf i UU 20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara negara secara langsung ataupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan padahal ia ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Adapun pelaku yang melakukan perbuatan ini dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

    Misalnya, dalam pengadaan alat tulis kantor, seorang pegawai pemerintahan menyertakan perusahaan keluarganya untuk terlibat proses tender dan mengupayakan kemenangannya.[15]

    7. Gratifikasi

    Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan:

    1. yang nilainya Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
    2. yang nilainya kurang dari Rp10 juta, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum.

    Adapun sanksi pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang dianggap suap sebagaimana tersebut di atas, adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.[16]

    Namun demikian, perlu Anda catat bahwa apabila penerima melaporkan gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima, maka sanksi atau ancaman pidana terkait gratifikasi tidak berlaku.[17]

    Baca juga: Batas Waktu Pelaporan Gratifikasi

    Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU/XIV/2016.

    Referensi:

    1. Ismail. Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Legalite: Jurnal Perundang- Undangan dan Hukum Pidana Islam, Vol. 2, No. 2, 2018;
    2. Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana KorupsiJakarta: KPK, 2006;
    3. Rizki Ramadhani (et.al). Problematika Tindak Pidana Korupsi. Indramayu: Penerbit Adab, 2024, hal. 2;
    4. R. Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bogor: Politea, 1986;
    5. Tim Garda Tipikor. Kejahatan Korupsi. Yogyakarta: Rangkang Education, 2016;
    6. KBBI, korupsi, diakses pada Kamis, 29 Februari 2024, pukul 17.23 WIB;
    7. KPK: Ayo Kenali dan Hindari 30 Jenis Korupsi Ini!, diakses pada Kamis, 29 Februari 2024, pukul 18.00 WIB;
    8. KPK: Pusat Edukasi Antikorupsi, diakses pada Kamis, 29 Februari 2024, pukul 18.00 WIB.

    [1] Rizki Ramadhani (et.al). Problematika Tindak Pidana Korupsi. Indramayu: Penerbit Adab, 2024, hal. 2

    [2] Tim Garda Tipikor. Kejahatan Korupsi. Yogyakarta: Rangkang Education, 2016, hal. 14-16

    [3] Rizki Ramadhani (et.al). Problematika Tindak Pidana Korupsi. Indramayu: Penerbit Adab, 2024, hal. 2

    [4] Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana KorupsiJakarta: KPK, 2006, hal. 15-17

    [5] Ismail. Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Legalite: Jurnal Perundang- Undangan dan Hukum Pidana Islam, Vol. 2, No. 2, 2018, hal. 5

    [6] Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana KorupsiJakarta: KPK, 2006, hal. 21 dan 23 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU/XIV/2016 hal. 116

    [7] KPK: Pusat Edukasi Antikorupsi, diakses pada Kamis, 29 Februari 2024, pukul 18.00 WIB

    [8] KPK: Ayo Kenali dan Hindari 30 Jenis Korupsi Ini!, diakses pada Kamis, 29 Februari 2024, pukul 18.00 WIB

    [9] Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana KorupsiJakarta: KPK, 2006, hal. 27, 29, dan 31

    [10] KPK: Ayo Kenali dan Hindari 30 Jenis Korupsi Ini!, diakses pada Kamis, 29 Februari 2024, pukul 18.22 WIB

    [11] Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana KorupsiJakarta: KPK, 2006, hal. 53

    [12] R. Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bogor: Politea, 1986, hal. 259

    [13] KPK: Pusat Edukasi Antikorupsi, diakses pada diakses pada Kamis, 29 Februari 2024, pukul 18.22 WIB

    [14] Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana KorupsiJakarta: KPK, 2006, hal. 65, 67, dan 69

    [15] KPK: Ayo Kenali dan Hindari 30 Jenis Korupsi Ini!, diakses pada Kamis, 29 Februari 2024, pukul 18.40 WIB

    [16] Pasal 12B ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”)

    [17] Pasal 12C ayat (1) dan (2) UU 20/2001

    Tags

    gratifikasi
    korupsi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA

    17 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!