Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dasar Hukum Pengenaan PPN atas Pembelian Properti

Share
copy-paste Share Icon
Pertanahan & Properti

Dasar Hukum Pengenaan PPN atas Pembelian Properti

Dasar Hukum Pengenaan PPN atas Pembelian Properti
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Dasar Hukum Pengenaan PPN atas Pembelian Properti

PERTANYAAN

Apakah ada biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pembelian properti dari developer? Apa dasar hukumnya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Properti yang dibeli dari developer pada dasarnya merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”). Namun, terhadap beberapa kategori properti tertentu dapat diberikan keringanan PPN atau bahkan tidak dipungut PPN sama sekali, baik untuk sementara maupun selamanya. Sedangkan properti lain dengan nilai tertentu justru dikategorikan sebagai barang mewah, sehingga memiliki tarif pajak yang lebih besar.
     
    Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pajak Pertambahan Nilai
    Jawaban atas pertanyaan Anda mengenai Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”) atas properti secara umum akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“UU 42/2009”).
     
    Sebagaimana ditegaskan oleh Mardiasmo dalam bukunya Perpajakan (hal. 324), pada dasarnya semua barang adalah barang kena pajak, kecuali undang-undang menetapkan sebaliknya.
     
    Jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:[1]
    1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
    1. minyak mentah (crude oil);
    2. gas bumi, tidak termasuk gas bumi, seperti LPG yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
    3. panas bumi;
    4. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
    5. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
    6. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
    1. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, meliputi:
    1. beras;
    2. gabah;
    3. jagung;
    4. sagu;
    5. kedelai;
    6. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
    7. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
    8. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
    9. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
    10. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
    11. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
    1. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda, karena jenis barang ini merupakan objek pengenaan pajak daerah.
    2. uang, emas batangan, dan surat berharga.
    Namun demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XIV/2016 memberikan catatan bahwa Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU 42/2009 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang rincian “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak” yang termuat dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU 42/2009 tersebut diartikan limitatif (hal. 123).
     
    Penyerahan Barang Kena Pajak
    Yang termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak adalah:[2]
    1. penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian;
    2. pengalihan barang kena pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
    3. penyerahan barang kena pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
    4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas barang kena pajak;
    5. barang kena pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
    6. penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan barang kena pajak antar cabang;
    7. penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi; dan
    8. penyerahan barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari pengusaha kena pajak kepada pihak yang membutuhkan barang kena pajak.
    Sedang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak adalah:[3]
    1. penyerahan barang kena pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
    2. penyerahan barang kena pajak untuk jaminan utang-piutang;
    3. penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan barang kena pajak antar cabang dalam hal pengusaha kena pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
    4. pengalihan barang kena pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah pengusaha kena pajak; dan
    5. barang kena pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang pajak masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan.
    Berdasarkan uraian tersebut, menurut hemat kami, properti yang dibeli dari developer merupakan objek PPN karena bukan merupakan jenis barang yang tidak dikenai PPN dan penyerahannya dilakukan melalui perjanjian atau sewa beli.
     
    Besaran PPN atas Pembelian Properti
    Sayangnya, Anda tidak menerangkan properti apa yang Anda maksud, karena beberapa kategori properti tertentu dapat diberikan keringanan PPN atau bahkan tidak dipungut PPN sama sekali, baik untuk sementara maupun selamanya. Sedangkan properti dengan nilai tertentu justru dikategorikan sebagai barang mewah, sehingga memiliki tarif pajak yang lebih besar.
     
    Properti yang memperoleh keringanan pajak tergambar dalam Pasal 16B ayat (1) UU 42/2009 telah mengatur bahwa:
     
    Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
    1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
    2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
    3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
    4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
    5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
    diatur dengan Peraturan Pemerintah.
     
    Kemudahan perpajakan dalam ketentuan tersebut diberikan untuk, salah satunya, menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana.[4]
     
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.010/2019 Tahun 2019 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (“Permenkeu 81/2019”) kemudian menguraikan bahwa rumah sederhana dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah rumah yang memenuhi ketentuan, sebagai berikut:[5]
    1. luas bangunan tidak melebihi 36 meter2;
    2. harga jual tidak melebihi batasan harga jual, dengan ketentuan bahwa batasan harga jual didasarkan pada kombinasi zona dan tahun yang berkesesuaian sebagaimana tercantum dalam Lampiran Permenkeu 81/2019;
    3. merupakan rumah pertama yang dimiliki oleh orang pribadi yang termasuk dalam kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu empat tahun sejak dimiliki;
    4. luas tanah tidak kurang dari 60 meter2; dan
    5. perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
     
    Sedangkan tarif pajak yang lebih besar (pajak penjualan atas barang mewah) diberikan kepada kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp30 miliar atau lebih.
     
    Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.010/2019 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah menggolongkan properti tersebut sebagai barang mewah, dan dikenai tarif pajak penjualan atas barang mewah sebesar 20% (hal. 1).
     
    Rumah yang tidak memenuhi kriteria-kriteria di atas memiliki tarif PPN sebesar 10% sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 42/2009.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XIV/2016.
     
    Referensi:
    Mardiasmo. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2018.
     

    [1] Pasal 4A ayat (2) UU 42/2009 dan penjelasannya
    [2] Pasal 1A ayat (1) UU 42/2009
    [3] Pasal 1A ayat (2) UU 42/2009
    [4] Penjelasan Pasal 16B ayat (1) huruf h UU 42/2009
    [5] Pasal 2 ayat (1) Permenkeu 81/2019

    Tags

    hukumonline
    ppnbm

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Upload Terjemahan Novel Agar Tak Langgar Hak Cipta

    20 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!