Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dokter Menolak Mengebiri = Obstruction of Justice?

Share
copy-paste Share Icon
Hak Asasi Manusia

Dokter Menolak Mengebiri = Obstruction of Justice?

Dokter Menolak Mengebiri = <i>Obstruction of Justice</i>?
Marc Anthonio, S.H.Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
Dokter Menolak Mengebiri = <i>Obstruction of Justice</i>?

PERTANYAAN

Dalam perkara hukuman tambahan kebiri kimia di Indonesia, IDI menyatakan untuk tidak berpartisipasi dalam eksekusi hukuman kebiri kimia dalam bentuk apapun. Dengan hal tersebut, apakah seorang dokter yang menolak untuk ditunjuk sebagai eksekutor kebiri kimia akan dianggap melakukan tindakan menghalang-halangi proses pengadilan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum dengan jelas mengatur siapa yang memiliki kewenangan sebagai eksekutor kebiri kimia terhadap Terpidana kasus kekerasan seksual kepada anak.
     
    Di sisi lain, tindakan kebiri kimia patut diduga melanggar etika profesi kedokteran Indonesia. Seorang dokter yang menolak untuk menjadi eksekutor kebiri kimia, dengan demikian, tidak bisa dianggap telah melakukan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses peradilan.
     
    Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Aturan Tindakan Kebiri Kimia Sebagai Pidana Tambahan
    Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan kedua kali dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perppu 1/2016”).
     
    Pasal 76D UU 35/2014 mengatur bahwa:
     
    Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
     
    Lebih lanjut, Pasal 81 Perppu 1/2016 kemudian mengatur bahwa:
     
    1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
    2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
    3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    4. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
    5. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
    6. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
    7. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
    8. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
    9. Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
     
    Pelaksanaan tindakan kebiri kimia ada di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.[1]
     
    Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. Ketentuan tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia diatur dengan Peraturan Pemerintah.[2]
     
    Sayangnya, sampai sejauh ini Peraturan Pemerintah yang diamanatkan belum disahkan. Oleh sebab itu, masih belum jelas siapa yang memiliki kewenangan sebagai eksekutor kebiri kimia terhadap seorang Terpidana.
     
    Etika Profesi Dokter Terkait Kebiri Kimia
    Sebagaimana yang Anda uraikan, Ikatan Dokter Indonesia (“IDI”) melalui Pengurus Besarnya tidak setuju jika dokter menjadi eksekutor kebiri kimia. Hal ini dinilai melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (“KODEKI”). Seorang dokter seharusnya mengemban tugas sebagai “Sang Pengobat”, bukan sebagai “Sang Pengebiri”. Hal ini juga pernah diberitakan dalam artikel Belum Ada Pedoman, Eksekusi Sanksi Kebiri Dinilai Ahli Lebih Luwes.
     
    Dalam Pasal 5 KODEKI diatur bahwa tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.
     
    Dalam Penjelasan Pasal 5 KODEKI dijelaskan bahwa pada diri pasien sebagai manusia, kaitan badan/tubuh dan jiwa/mental tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Melemahkan daya tahan psikis dan fisik adalah bertentangan dengan fitrah/tugas ilmu kedokteran, karena hal ini jika dibiarkan justru akan membahayakan nyawa atau memperberat penderitaannya.
     
    Selain itu dalam Pasal 11 KODEKI dijelaskan bahwa setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani. Di dalam Penjelasan Pasal 11 KODEKI disampaikan bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk memelihara kehidupan alamiah pasiennya dan tidak untuk mengakhirinya.
     
    Oleh sebab itu, IDI memiliki dasar untuk menolak menjadi eksekutor tindakan kebiri kimia terhadap Terpidana. Tindakan tersebut patut diduga melanggar norma etika profesi kedokteran yang telah tertuang dalam KODEKI.
     
    Menolak Mengebiri = Obstruction of Justice?
    Pertanyaan selanjutnya, apakah penolakan IDI tersebut termasuk obstruction of justice? Agar tidak salah memahami obstruction of justice, maka kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dari obstruction of justice itu sendiri.
     
    Tidak ada aturan hukum di Indonesia yang secara khusus menjelaskan pengertian dari obstruction of justice. Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary Ninth Edition (hal. 1183), pengertian obstruction of justice adalah sebagai berikut:
     
    Interference with orderly administration of law and justice, as by giving false information to or withholding evidence from a police officer or prosecutor, or by harming or intimidating witness or juror.
     
    Atau dalam terjemahan bebasnya ke bahasa Indonesia berarti ketidakpatuhan terhadap sistem hukum dengan mengganggu administrasi atau prosedur hukum, tidak sepenuhnya mengungkapkan bukti atau memberikan informasi palsu, atau menyakiti dan mengintimidasi juri atau saksi.
     
    Di dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya sendiri tidak diatur mengenai obstruction of justice. Maka, tindakan seorang dokter yang menolak untuk menjadi eksekutor kebiri kimia terhadap Terpidana tidak bisa dianggap sebagai tindakan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses peradilan.
     
    Dalam hal ini, dokter memang belum resmi ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan sebagai eksekutor terhadap Terpidana. Tindakan kebiri kimia juga patut diduga melanggar norma etika profesi kedokteran.
     
    Akhirnya, untuk menjawab pertanyaan Anda, dapat disimpulkan setidaknya tiga penjelasan, yakni: Pertama, bahwa UU Perlindungan Anak dan perubahannya belum jelas mengatur siapa yang memiliki kewenangan sebagai eksekutor kebiri kimia terhadap Terpidana; Kedua, bahwa tindakan kebiri kimia patut diduga melanggar norma etika profesi kedokteran Indonesia; dan Ketiga, bahwa tindakan seorang dokter yang menolak untuk menjadi eksekutor kebiri kimia terhadap terpidana tidak bisa dianggap melakukan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses peradilan.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan kedua kali dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
     
    Referensi:
    1. Bryan A. Garner (Ed.). Black’s Law Dictionary Ninth Edition. St. Paul: Thomson Reuters. 2009;
    2. Kode Etik Kedokteran Indonesia, diakses pada 11 Februari 2020, pukul 14.00.
     

    [1] Pasal 81A ayat (2) Perppu 1/2016
    [2] Pasal 81A ayat (3) dan (4) Perppu 1/2016

    Tags

    kebiri
    kesehatan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Catat! Ini 3 Aspek Hukum untuk Mendirikan Startup

    9 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!