Intisari :
Sejauh penelusuran kami, tidak terdapat definisi yang baku mengenai Perda Syariah. Untuk itu, kami menyimpulkan bahwa Perda Syariah tersebut adalah Perda Provinsi ataupun Perda Kabupaten/Kota yang muatannya mengatur tentang urusan agama, yang mana urusan agama merupakan urusan pemerintahan absolut dan nyatanya dimungkinkan untuk dilimpahkan wewenangnya kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi. Di pemerintahan Aceh, untuk pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Peraturan Daerah
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
[1] Sementara
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
[2]
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
[3]
Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perlu diketahui juga bahwa terdapat pengaturan mengenai Urusan Pemerintahan dalam Pasal 9 UU Pemerintahan Daerah yang membagi urusan pemerintahan atas:
urusan pemerintahan absolut, adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat;
urusan pemerintahan konkuren, adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah; dan
urusan pemerintahan umum, adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan.
Urusan
pemerintahan absolut meliputi:
[4]politik luar negeri;
pertahanan;
keamanan;
yustisi;
moneter dan fiskal nasional; dan
agama.
Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf f UU Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan “urusan agama” misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.
Kemudian, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut, pemerintah pusat:
[5]melaksanakan sendiri; atau
melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
[6]
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa urusan agama yang merupakan urusan pemerintahan absolut, nyatanya dimungkinkan untuk dilimpahkan wewenangnya kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.
Peraturan Daerah Syariah
Sejauh penelusuran kami, tidak terdapat definisi yang baku mengenai Peraturan Daerah Syariah. Untuk itu, kami menyimpulkan bahwa Peraturan Daerah Syariah tersebut adalah Peraturan Daerah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 mengenai hierarki perundang-undangan, yaitu dapat berupa Peraturan Daerah Provinsi ataupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang muatannya mengatur tentang urusan agama.
Dikutip dari buku karya Michael Buehler,
The Politics of Shari’a Law: Islamist Activist and the State in Democratizing Indonesia (hal. 174), sebagaimana yang kami sarikan berdasarkan data dari 34 provinsi menunjukkan bahwa sebagian besar dari 443 Peraturan Daerah Syariah diadopsi antara tahun 1998 dan 2013 di beberapa kabupaten di sejumlah provinsi yang relatif kecil. Provinsi dengan jumlah Peraturan Daerah Syariah tertinggi adalah Jawa Barat (103), Sumatera Barat (54), Sulawesi Selatan (47), Kalimantan Selatan (38), Jawa Timur (32) dan Aceh (25). Dengan kata lain, 67,7 persen (300/443) dari Peraturan Daerah Syariah hanya terkonsentrasi di enam provinsi.
Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah (pemerintah pusat).
[7] Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
[8]
Di pemerintahan Aceh, untuk pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.
[9]
Pengertian qanun dapat kita lihat pada Pasal 1 angka 21 dan angka 22 UU 11/2006, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1 angka 21 UU 11/2006:
Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
Pasal 1 angka 22 UU 11/2006:
Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.
Jika materi muatan Peraturan Daerah Syariah tersebut nyatanya bertentangan dengan suatu undang-undang yang secara hierarkis kedudukannya lebih tinggi, dapat dilakukan pengujian. Pengujian tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU 12/2011 yang menyatakan:
Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pengujian ini dinamakan
judicial review, dimana salah satu wewenang Mahkamah Agung (MA) adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
[10]
Hal senada juga disampaikan oleh pakar ilmu perundang-undangan dari Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati dalam artikel
Keabsahan Ketentuan Pidana dalam Qanun Pemerintah Aceh, mengatakan pada prinsipnya materi muatan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Prinsip yang sama, lanjut Maria, juga berlaku bagi qanun. Materi muatan suatu qanun tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya.
Maria menambahkan apabila ternyata materi muatan suatu qanun bertentangan peraturan di atasnya, maka terhadap qanun tersebut dapat dilakukan uji materil ke Mahkamah Agung. Artinya, qanun dapat dibatalkan atau dicabut dengan alasan bertentangan dengan peraturan di atasnya.
Sebagai ilustrasi, Maria mencontohkan qanun yang mengatur tentang hukuman cambuk. Menurutnya, qanun tersebut bisa saja diuji materiil karena dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya yang terkait yakni
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Michael Buehler. The Politics of Shari’a Law: Islamist Activist and the State in Democratizing Indonesia. Cambrige, United Kingdom: Cambridge University Press, 2016.
[1] Pasal 1 angka 7 UU 12/2011
[2] Pasal 1 angka 8 UU 12/2011
[4] Pasal 10 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah
[5] Pasal 10 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah
[6] Pasal 1 angka 9 UU Pemerintahan Daerah
[7] Pasal 7 ayat (1) UU 11/2006
[8] Pasal 7 ayat (2) UU 11/2006
[9] Pasal 13 ayat (1) UU 11/2006