Ganti Cuti Tahunan
PERTANYAAN
Apabila cuti tahunan (selama 12 hari) tidak diambil seluruhnya, apakah perusahaan wajib memberi kompensasi/insentif kepada karyawan? Bila wajib berapakah besarnya? Adakah peraturan mengenai hal tersebut?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Apabila cuti tahunan (selama 12 hari) tidak diambil seluruhnya, apakah perusahaan wajib memberi kompensasi/insentif kepada karyawan? Bila wajib berapakah besarnya? Adakah peraturan mengenai hal tersebut?
Setiap karyawan (pekerja/buruh) berhak atas cuti tahunan sekurang-kurangnya -selama- 12 hari kerja setelah (masing-masing) karyawan yang bersangkutan bekerja (mempunyai masa kerja) selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut (lihat pasal 79 ayat [2] huruf c UU No. 13/2003 jo pasal 7 ayat [1] dan penjelasannya PP No. 21/1954). Hak tersebut harus diambil (dimohonkan) secara terus menerus -selama 12 hari kerja-. Namun, apabila ada kesepakatan antara karyawan dengan pengusaha (manajemen), hak cuti tahunan dapat dibagi-bagi dalam beberapa bagian (secara parsial), dengan ketentuan harus tetap ada satu bagian yang sekurang-kurangnya selama 6 hari kerja secara terus menerus (lihat pasal 6 PP No. 21/1954).
Sebaliknya, apabila hak cuti karyawan telah timbul, maka pengusaha harus memberikan kesempatan kepada karyawan yang bersangkutan untuk mengambilnya. Walaupun –bisa disepakati- atas dasar pertimbangan pengusaha, atau adanya kepentingan yang sangat membutuhkan penanganan (kepentingan perusahaan yang nyata), hak cuti tahunan tersebut dapat ditangguhkan untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan sejak timbulnya hak dimaksud (lihat pasal 5 PP No. 21/1954).
Selanjutnya, apabila karyawan diputuskan hubungan kerjanya (“PHK”) dan pada saat terjadi PHK karyawan yang bersangkutan telah mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 6 bulan sejak saat timbulnya hak cuti tahunan yang terkahir, maka (dalam hal ini) karyawan berhak atas suatu kompensasi cuti tahunan (penggantian istirahat tahunan) yang merupakan bagian dari uang penggantian hak sebesar upah penuh pada hari-hari kerja (lihat pasal 7 ayat [1] dan ayat (2) serta penjelasannya PP No. 21/1954 jo pasal 156 ayat [4] huruf a dan pasal 77 ayat (2) UU No. 13/2003).
Tidak ada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur adanya kompensasi/insentif (berupa uang) sebagai penggantian cuti tahunan yang tidak diambil oleh karyawan (baik sebagian maupun seluruhnya). Artinya, kalau karyawan telah diberi kesempatan untuk cuti dan tidak ada (kesepakatan) penangguhan serta tidak ada kepentingan perusahaan yang sangat membutuhkan penanganan (kepentingan perusahaan yang nyata), maka jika tidak diambil, hak cuti karyawan yang bersangkutan gugur dengan sendirinya.
Namun demikian, tentunya para pihak, yaitu karyawan dengan manajemen/pengusaha, dapat memperjanjikan (menyepakati) adanya –uang- kompensasi/insentif sebagai penggantian cuti tahunan yang tidak diambil, baik dalam perjanjian kerja (“PK”) dan/atau dalam peraturan perusahaan (“PP”)/perjanjian kerja bersama (“PKB”), ataukah -hanya- disepakati (tertulis dan secara sporadik) pada saat timbulnya hak dimaksud. Dalam arti, penggantian cuti tahunan tidak otomatis timbul dengan sendirinya, akan tetapi harus disepakati dan -jika perlu- diperjanjikan/diatur (dituangkan) dalam PK dan/atau PP/PKB.
Apabila para pihak memperjanjikan/mengatur dalam PK, PP/PKB, maka akan menjadi norma (otonom) yang wajib dipatuhi oleh pihak yang bersangkutan. Dengan dasar perjanjian tersebut, barulah timbul hak atas kompensasi/insentif seperti yang Saudara maksudkan. Akan tetapi –sebaliknya- kalau itu hanya sekedar kesepakatan sporadik (saat timbulnya hak), maka tidak dapat diklaim sebagai hak yang bersifat normatif (yang berlaku setiap tahun dan sama bagi setiap karyawan).
Berkenaan dengan pertanyaan Saudara, dapat kami simpulkan, bahwa manajemen (perusahaan) tidak wajib memberikan penggantian cuti tahunan yang tidak diambil oleh karyawan, sementara manajemen telah memberi kesempatan untuk itu. Undang-undang hanya mengatur kompensasi atau penggantian cuti tahunan -dengan uang- bagi karyawan yang putus hubungan kerjanya (ter-PHK) jika memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana tersebut di atas (lihat pasal 156 ayat [4] huruf a UU No. 13/2003 jo pasal 7 ayat [1] dan penjelasannya PP No. 21/1954).
Perhitungan besarnya kompensasi atau penggantian cuti tahunan karena PHK sebagaimana dimaksud, adalah upah penuh untuk hari-hari cuti yang –tentunya– disesuaikan dengan pola waktu kerja yang dipilih, atau ketentuan waktu kerja yang diterapkan (lihat pasal 7 ayat [2] dan penjelasannya PP No. 21/1954). Pada umumnya rumus yang dipakai (sesuai pola waktu kerja 6:1, yakni 6 hari kerja dan 1 hari istirahat), adalah 1/25 x upah x hak cuti yang belum diambil (bandingkan dengan ketentuan pasal 9 ayat (1) Kepmenakertrans Nomor Kep-102/Men/VI/2004).
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 tentang Penetapan Peraturan Istirahat Buruh.
Simak dan dapatkan tanya-jawab seputar Hukum tenaga kerja lainnya dalam buku “53 Tanya Jawab Seputar Tenaga Kerja” (hukumonline dan Visimedia) yang telah beredar di toko-toko buku. |
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?