Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Yang Berwenang Mengumpulkan Zakat
Sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU Pengelolaan Zakat”), pengelolaan zakat telah diatur sedemikian rupa sehingga tidak setiap orang atau lembaga bisa menjadi pengumpul zakat (amil). Yang berwenang menjadi pengumpul zakat hanyalah Badan Amil Zakat Nasional (“BAZNAS”) dan Unit Pengumpul Zakat (“UPZ”) di bawahnya,
[1] serta para Lembaga Amil Zakat (“LAZ”) yang dibentuk oleh masyarakat dan telah mendapatkan izin dari Menteri Agama setelah sebelumnya mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS.
[2]
Ketika perusahaan teman Anda memotong gaji pegawainya untuk zakat profesi, maka, dari aspek hukum pengumpulan zakat, yang perlu dicermati adalah, pertama, apakah di perusahan tersebut sudah dibentuk UPZ oleh BAZNAS atau sudah menjadi LAZ yang mendapatkan izin dari Menteri Agama? Kedua, apakah ihwal pemotongan gaji untuk zakat tersebut sudah dikomunikasikan dan disetujui oleh pekerja yang dipotong gajinya?
Dua persoalan di atas menjadi penting karena apabila di perusahaan belum dibentuk UPZ dari BAZNAS ataupun tidak memiliki LAZ, maka perusahaan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengumpulan zakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 38 dan Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat mengatur sebagai berikut:
Pasal 38
Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pasal 41
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Namun, perlu diperhatikan bahwa
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 (“Putusan MK 86/2012”) memberikan pengecualian dari kedua pasal di atas kepada perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang (hal. 108-109).
Kemudian, apabila perusahaan memiliki kewenangan di hadapan hukum positif untuk mengumpulkan dari gaji pegawainya, menurut kami ihwal pemotongan tersebut juga harus dikomunikasikan dan disetujui oleh pegawai yang bersangkutan, hal ini dikarenakan kewajiban zakat diatur dalam syariat Islam sedangkan UU Pengelolaan Zakat sendiri tidak mewajibkan membayar zakat. Apalagi, terdapat diskursus di antara pemerhati hukum Islam yang berpendapat bahwa zakat profesi tidak diatur dalam tradisi Islam (bid’ah).
Laporan Pelaksanaan Pengelolaan Zakat
Kemudian, terkait dengan penyaluran/distribusi zakat,
setiap amil zakat harus menyampaikan dan melaporkan secara transparan tentang peruntukan zakat yang telah mereka peroleh dari para pemberi zakat (muzakki). UU Pengelolaan Zakat dan
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“PP 14/2014”) mewajibkan amil zakat, dalam hal ini BAZNAS dan LAZ, untuk melaporan pelaksanaan pengelolaan zakat kepada BAZNAS, pemerintah daerah, dan/atau Menteri Agama secara berkala.
[3] Selain itu, laporan neraca tahunan BAZNAS harus juga diumumkan melalui media cetak atau media elektronik.
[4]
Tidak cukup itu, Pasal 75 PP 14/2014 menyebutkan bahwa laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya harus di audit syariat dan keuangan. Audit syariat dilakukan oleh Kementerian Agama sedangkan audit keuangan dilakukan oleh akuntan publik.
Selain itu, Pasal 77 PP 14/2014 menyebutkan bahwa BAZNAS atau LAZ dikenakan sanksi administratif apabila:
tidak memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang;
melakukan pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya tidak sesuai dengan syariat Islam dan tidak dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang; dan/atau
tidak melakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri terhadap pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang.
Sanksi administratif tersebut dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara dari kegiatan, dan/atau pencabutan izin operasional.
[5]
Maka, baik UU Pengelolaan Zakat maupun PP 14/2014 memang tidak menyebutkan secara langsung bahwa amil zakat harus menjelaskan peruntukan dana zakat kepada para pemberi zakat (muzaki), namun ihwal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan zakat tersebut sudah terwakili pada kewajiban menyampaikan laporan kepada instansi-instansi yang telah kami jelaskan di atas.
Dasar Hukum:
Putusan:
[1] Pasal 5, 6, dan 16 UU Pengelolaan Zakat
[2] Pasal 17 dan 18 UU Pengelolaan Zakat
[3] Pasal 29 UU Pengelolaann Zakat
jo. Pasal 71, 72, 73 PP 14/2014
[4] Pasal 29 ayat (5) UU Pengelolaann Zakat