Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Kedudukan Istri dalam Membuat Perjanjian
Pasal 31 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) telah menegaskan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan suami istri masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Maka, berdasarkan uraian tersebut, seorang istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum untuk dirinya sendiri, seperti mengikatkan dirinya dalam perjanjian kerja, tanpa harus izin suami.
Dengan demikian, terkait pertanyaan Anda, harus ditegaskan bahwa istri juga merupakan pihak yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum dan oleh karena itu, perjanjian kerja yang dibuatnya juga sah secara hukum sepanjang memenuhi syarat dibuatnya perjanjian kerja dalam Pasal 52 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), yaitu:
kesepakatan kedua belah pihak;
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi, seperti tanpa membedakan jenis kelamin, untuk memperoleh pekerjaan.
[1]
Setiap pekerja/buruh juga berhak memperoleh, salah satunya, perlakuan yang sama dari pengusaha tanpa membedakan jenis kelamin.
[2]
Maka, berdasarkan UU Ketenagakerjaan pun, baik istri maupun suami memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sang istri secara hukum berhak atas kesempatan yang sama untuk bekerja dan berhak menjalin hubungan kerja dengan perusahaan tanpa harus izin suami terlebih dahulu.
Hal ini pun ditekankan dalam artikel
Kedudukan Istri yang Bekerja dari Kacamata Hukum, yang menegaskan bahwa secara hukum, suami tidak berhak meminta perusahaan tempat istrinya bekerja untuk tidak mempekerjakan istrinya lagi, meski istri bekerja tanpa persetujuan suami.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Ganti Rugi
Berdasarkan pertanyaan Anda yang menerangkan bahwa kontrak kerja istri belum berakhir, kami asumsikan bahwa perjanjian kerja tersebut ada jangka waktunya, sehingga digolongkan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”).
Berdasarkan ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian.
Apabila PHK dilakukan dengan pengunduran diri, maka pekerjalah yang harus membayar ganti rugi tersebut.
Akan tetapi, apabila PHK dilakukan oleh perusahaan, maka perusahaanlah yang wajib membayar ganti rugi tersebut.
Oleh karena itu, apabila perusahaan tetap ingin mengakhiri hubungan kerja, maka sang istri berhak atas ganti rugi sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Dipaksa untuk Resign
Sebagaimana yang pernah diulas dalam artikel
Upaya Hukum Jika Perusahaan Memaksa Karyawan Resign, jika dipaksa oleh perusahaan untuk mengundurkan diri, maka pekerja/buruh harus dapat membuktikan bahwa surat pengunduran diri tersebut dibuat dengan keterpaksaan.
Sebagai tambahan informasi, jika suami tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan nafkah yang layak kepada istri, maka istri dapat menuntut pemberian nafkah tersebut melalui gugatan nafkah ke pengadilan. Ulasan selengkapnya dapat Anda simak dalam artikel
Bisakah Mengajukan Gugatan Nafkah Tanpa Cerai?.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 1 angka 2
jo. Pasal 5 UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya
[2] Pasal 6 UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya