Intisari :
Di Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) disebutkan jika pemutusan hubungan kerja (“PHK”) tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial akan menjadi batal demi hukum. Artinya, PHK sepihak tersebut dianggap tidak pernah terjadi dan selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Non-competition clause bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia karena pada dasarnya setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Oleh karena itu, non-competition clause tidak dapat diberlakukan. Lalu bagaimana soal uang pesangon dan reward Anda? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pemberhentian secara Sepihak
Jika Anda merupakan pegawai tetap berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”), maka
mengenai pemutusan hubungan kerja (“PHK”) mekanismenya diatur dalam Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)
. Syarat untuk melakukan PHK, yaitu:
Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
Pada dasarnya melalui Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.
Jika PHK tidak bisa dihindarkan, tetap wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.[1]
Melihat hal tersebut, berarti PHK harus dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu. Barulah apabila hasil perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.[2]
Adapun lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dimaksud adalah mediasi hubungan industrial, konsiliasi hubungan industrial, arbitrase hubungan industrial dan pengadilan hubungan industrial.[3]
Di Pasal 155 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan jika PHK tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial akan menjadi batal demi hukum. Artinya, PHK sepihak tersebut dianggap tidak pernah terjadi dan selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.[4]
Jika melihat ke dalam kasus Anda, terhadap tindakan perusahaan memutuskan sepihak, berarti demi hukum Anda masih menjadi pegawai perusahaan tersebut. Anda tetap harus bekerja dan perusahaan tetap harus membayarkan upah Anda selama belum ada keputusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Sedangkan, Jika Anda pekerja kontrak berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”), maka apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.[5]
Menurut Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan perjanjian kerja berakhir apabila:
pekerja meninggal dunia;
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (untuk PKWT);
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Jika perusahaan melakukan PHK secara sepihak/sewenang-wenang, maka langkah yang dapat ditempuh adalah melaporkan tindakan perusahaan kepada instansi ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota karena merupakan pengawas ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Non-Competition Clause
Pasal 31 UU Ketenagakerjaan menyebutkan:
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.
Non-competition clause menurut hemat kami bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Hak Asasi Manusia. Karena pada dasarnya setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Oleh karena itu, non-competition clause pada dasarnya tidak dapat diberlakukan.
Dilihat dari segi hukum perdata tentang perjanjian, suatu perjanjian itu tidak boleh dibuat karena paksaan. Untuk lebih jelasnya, kita perlu ketahui tentang syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yaitu:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua pada 1320 KUHPer disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat pada 1320 KUHPer disebut syarat objektif. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan jika syarat objektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Kemudian, dalam Pasal 1321 KUHPer dikatakan bahwa tiada sepakat yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Dari Pasal 1320 dan 1321 KUHPer kita bisa memahami, jika pekerja dipaksa untuk sepakat pada suatu perjanjian untuk tidak bekerja di perusahaan sejenis setelah ia mengundurkan diri dari tempat kerjanya yang terdahulu, maka perjanjian tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan.
Tetapi titik beratnya bukan hanya pada paksaan saja, melainkan apakah isi dari perjanjian tersebut memuat suatu sebab yang halal. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Non-competition clause bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Hak Asasi Manusia, maka menurut hemat kami non-compete clause tersebut batal demi hukum, sehingga tidak mengikat Anda.
Uang Pesangon
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa jika Anda pegawai kontrak berdasarkan PKWT dan perjanjian kerjanya diakhiri oleh perusahaan, maka Anda berhak atas atas uang ganti rugi sebesar upah Anda sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Namun jika Anda adalah pegawai tetap berdasarkan PKWTT, yang mana pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan:
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Perhitungan uang pesangon paling sedikit sebagai berikut:
[6]masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:
[7]masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi:
[8]cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Jika reward yang Anda maksud adalah bonus atas pekerjaan Anda, yang telah diperjanjikan. Maka sesuai Pasal 156 ayat (4) huruf d jo. Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Anda berhak atas reward tersebut jika telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama karena termasuk ke dalam bagian uang penggantian hak.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
[1] Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 151 ayat (3) UU ketenagakerjaan
[4] Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[5] Pasal 62 UU Ketenagakerjaan
[6] Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[7] Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
[8] Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan