Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Keabsahan Ketentuan Pidana dalam Qanun Pemerintah Aceh

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Keabsahan Ketentuan Pidana dalam Qanun Pemerintah Aceh

Keabsahan Ketentuan Pidana dalam Qanun Pemerintah Aceh
Letezia Tobing, S.H., M.Kn.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Keabsahan Ketentuan Pidana dalam Qanun Pemerintah Aceh

PERTANYAAN

Selamat pagi Bapak/Ibu Pengasuh Klinik HukumOnline. Salam hormat saya. Saya adalah salah satu makhluk Tuhan yang berdomisili di Provinsi A dan pastinya harus taat akan aturan-aturan yang berlaku di provinsi tersebut. Yang ingin sekali saya tanyakan adalah; Apakah hukuman di depan publik atas pelaku pelanggaran Qanun tidak melanggar Pasal 28 UUD '45? (Mis.: pengguntingan rok di depan umum bilamana seorang wanita memakai legging di dalam roknya). Sekian dan terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Sebelumnya, kami akan menguraikan isi dari Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), yang berisi sebagai berikut:

     

    “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

    KLINIK TERKAIT

    Jerat Hukum dan Ancaman Pidana Pelaku Sodomi

    Jerat Hukum dan Ancaman Pidana Pelaku Sodomi
     

    Pertama-tama, kami akan menjelaskan apa itu qanun. Pengertian mengenai qanun dapat kita lihat pada Pasal 1 angka 21 dan angka 22 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (“UU No. 11/2006”), yang berbunyi sebagai berikut:

     

    Pasal 1 angka 21 UU No. 11/2006:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    “Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.”

     

    Pasal 1 angka 22 UU No. 11/2006:

    “Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.”

     

    Mengenai qanun pernah juga dibahas dalam artikel yang berjudul Kontroversi Qanun, Perda Dengan Karakteristik Khusus. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa qanun yang pertama kali diperkenalkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (“UU No. 18/2001”) (yang telah dicabut oleh UU No. 11/2006), memiliki kedudukan yang signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Aceh. Sebab, qanun dijadikan perangkat hukum utama bagi penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang tengah giat-giatnya ditata kembali pasca penandatanganan MoU Damai. Apalagi UU No. 18/2001 mengisyaratkan bahwa ke depannya nanti tidak akan ada lagi peraturan daerah (perda) di Aceh.

     

    Lebih lanjut, masih menurut artikel yang sama, secara gramatikal, kata qanun berasal dari bahasa Arab dengan asal kata qaanuun atau qānÅ«n. Di mana menurut Kamus Kontemporer Arab-Indonesia yang disusun oleh Yayasan Ali Maksum, Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, qaanuun atau qānÅ«n artinya kompilasi, himpunan peraturan atau undang-undang, atau norma-norma yang telah mapan. 

     

    Dalam artikel tersebut, pakar ilmu perundang-undangan dari Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati mengatakan pada prinsipnya materi muatan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Prinsip yang sama, lanjut Maria, juga berlaku bagi qanun. Materi muatan suatu qanun tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.

     

    Maria menambahkan apabila ternyata materi muatan suatu qanun bertentangan peraturan di atasnya, maka terhadap qanun tersebut dapat dilakukan uji materil ke Mahkamah Agung. Artinya, qanun dapat dibatalkan atau dicabut dengan alasan bertentangan dengan peraturan di atasnya.

     

    Sebagai ilustrasi, Maria mencontohkan qanun yang mengatur tentang hukuman cambuk. Menurutnya, qanun tersebut bisa saja diuji materiil karena dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya yang terkait yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

     

    Akan tetapi, pendapat berbeda dikatakan oleh Pengajar Hukum Perundang-Undangan Universitas Indonesia, Fitriani A. Sjarief dalam artikel yang berjudul Qanun Jinayat Tidak Bertentangan dengan Konstitusi. Fitriani (dalam hal membicarakan qanun jinayat yang pada saat itu akan diberlakukan di Aceh) berpendapat, Qanun Jinayat dari segi peraturan perundang-undangan pada dasarnya sah secara hukum. Karena, menurutnya, adanya UU No. 11/2006 memang memberikan kewenangan yang luar biasa kepada pemerintahan Aceh untuk membentuk Qanun. UU No. 11/2006 ini juga yang menjadi landasan sehingga di dalam Qanun, bisa dibuat adanya hukum pidana baru, hukum acara pidana baru, serta Mahkamah Syariah.

     

    Namun demikian, Fitri mengungkapkan sudut pandang lain dari kedudukan Qanun sebagai Peraturan Daerah di Aceh. Dilihat dari konsep negara kesatuan, sebenarnya Peraturan Daerah itu adalah bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan secara nasional. Sehingga semua yang menjadi kebijakan daerah seharusnya sejalan dengan apa yang berlaku secara umum di tataran nasional. “Jadi kalau dalam konsep negara kesatuan sebenarnya tidak mungkin ada Peraturan Daerah yang khusus atau tidak dalam hierarki,” ungkap Fitri dalam artikel tersebut.

     

    Fitri menilai, apabila Qanun Jinayat dinilai sebagai masalah, maka yang harus dipermasalahkan sebenarnya adalah UU No. 11/2006 yang menjadi dasar dari wewenang kepada Gubernur dan DPRD Aceh untuk membuat Qanun tersebut. Menurutnya, kalau UU No. 11 2006, mau di-review (diajukan pengujian, ed.) terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi, bisa melihat Pasal 1 UUD 1945 mengenai negara kesatuan.

     

    Namun, Fitri juga mengungkapkan bahwa secara politik hukum, Pemerintah memang memberikan otonomi khusus kepada Aceh. Artinya, sedari awal Pemerintah sepakat dengan konsep yang ada sekarang dengan segala konsekuensinya.

     

    Kembali kepada pertanyaan Anda, apakah hukuman di depan publik atas pelaku pelanggaran qanun tidak melanggar Pasal 28 UUD 1945, untuk menentukan hal tersebut, harus dilakukan judicial review ke Mahkamah Agung sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia. Pada dasarnya, berdasarkan ilmu perundang-undangan, qanun memang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, termasuk tidak boleh juga bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, kita juga harus melihat bahwa ada UU No. 11/2006 yang menjadi dasar adanya qanun tersebut. Sehingga, ada yang berpendapat, seharusnya yang diuji terlebih dahulu adalah UU No. 11/2006 yang menjadi dasar dari qanun tersebut.

     

    Sebagai referensi, Anda dapat juga membaca artikel yang berjudul Mekanisme Pengujian Perda Kabupaten/Kota yang Bertentangan dengan UU.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     
    Dasar Hukum:

    1.    Undang-Undang Dasar 1945;

    2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    3.    Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

    Tags

    qanun

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Pindah Kewarganegaraan WNI Menjadi WNA

    25 Mar 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!