Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Konsep Proprio Motu dalam Statuta Roma dan Penerapannya

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Konsep Proprio Motu dalam Statuta Roma dan Penerapannya

Konsep Proprio Motu dalam Statuta Roma dan Penerapannya
Pirhot Nababan, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Konsep Proprio Motu dalam Statuta Roma dan Penerapannya

PERTANYAAN

Pasal 15 (1) Statuta Roma menyatakan: The Prosecutor may initiate investigations proprio motu on the basis of information on crimes within the jurisdiction of the Court. Apa arti dari "proprio motu"? Dan bagaimana penerapannya dalam ketentuan-ketentuan lain?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Merujuk pada Merriam-Webster Dictionary, istilah proprio motu didefinisikan sebagai “by one's own motion; on one's own initiative”. Definisi ini dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “inisiatif diri sendiri”. Istilah proprio motu sebenarnya jarang dipakai dalam praktik hukum pada umumnya, melainkan lebih sering digunakan oleh Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik.

     

    Di praktik hukum Amerika Serikat, ada padanan yang mirip dengan proprio motu, yaitu sua sponte. Menurut Black’s Law Dictionary Sixth Edition, sua sponte diartikan sebagai “of his or its own will or motion; voluntarily; without prompting or suggestion”. Dari pengertian ini, sua sponte memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan proprio motu.

    KLINIK TERKAIT

    Hukum Perceraian bagi Perkawinan Katolik

    Hukum Perceraian bagi Perkawinan Katolik
     

    Dalam konteks Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta Roma”), proprio motu adalah kewenangan yang diberikan oleh Statuta Roma kepada Office of the Prosecutor (“OTP”) di International Criminal Court (“ICC”), untuk memulai investigasi atas kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi ICC, yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi (lihat Pasal 5 Statuta Roma).

     

    Dengan adanya kewenangan ini, OTP (bisa dipadankan sebagai jaksa atau penuntut) dari ICC tidak harus bersifat pasif dan menunggu adanya laporan. Untuk diketahui, berdasarkan Pasal 13 Statuta Roma, ICC lebih cenderung untuk memulai adanya investigasi atas kejahatan internasional setelah adanya laporan Dewan Keamanan PBB atau negara para pihak Statuta Roma.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Menurut Siebert Fohr dalam makalahnya berjudul The Relevance of the Rome Statute of the International Criminal Court for Amnesties and Truth Commissions, kewenangan ini diberikan kepada OTP untuk mengatasi keengganan negara pihak Statuta Roma atau Dewan Keamanan PBB untuk melaporkan kejahatan internasional, karena alasan-alasan politis.

     

    Tentunya, kewenangan ini tidak bisa langsung dilaksanakan tanpa adanya tahapan dan pertimbangan. Berdasarkan Pasal 15 ayat 2 Statuta Roma, sebelum melaksanakan investigasi proprio motu, OTP harus mengumpulkan informasi selengkap-lengkapnya dari negara yang berkepentingan, badan-badan PBB, organisasi internasional (pemerintah dan non-pemerintah), dan sumber lain yang dapat dipercaya.

     

    Setelah informasi selesai dikumpulkan, OTP lalu mengajukan permohonan investigasi pada pre-trial chamber ICC (majelis hakim yang bertugas untuk menentukan investigasi, surat penangkapan, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk jalannya persidangan ICC). Dalam laporannya, OTP harus menunjukkan informasi dan aspek-aspek terkait secara jelas kepada pre-trial chamber (lihat Pasal 15 ayat 3 Statuta Roma).

     

    Susana SáCouto dan Katherine A. Cleary dalam makalahnya berjudul “The Gravity Threshold of the International Criminal Court”, menyebutkan ada lima aspek yang harus dipertegas oleh OTP yakni:

    1.    Derajat kejahatan (scale of the crimes);

    2.    Tingkat kekejaman kejahatan (the severity of the crimes);

    3.    Sifat sistematis dari kejahatan (the systematic nature of the crimes);

    4.    Bagaimana kejahatan itu dilakukan (the manner in which they were committed); dan

    5.    Dampak kejahatan kepada korban (the impact on victims).

     

    Kelima aspek ini lazim disebut dengan gravity threshold atau gravity requirements. Setelah disetujui, jaksa dapat melaksanakan investigasi atas kejahatan internasional yang telah terjadi.

     

    Untuk diketahui, proprio motu dalam rezim Statuta Roma, hanya diterapkan untuk kewenangan jaksa dalam memulai investigasi atas kejahatan internasional tanpa adanya laporan terlebih dahulu. Tidak ada ketentuan lain dalam Statuta Roma yang termasuk proprio motu.

     

    Menurut Luis Moreno-Ocampo, jaksa pertama di ICC, dalam makalah berjudul The International Criminal Court: Seeking Global Justice, ketentuan proprio motu dalam Statuta Roma adalah hal yang menjadi pembeda ICC dengan pengadilan internasional lainnya seperti International Criminal Tribunal for Rwanda atau International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia. Menurutnya, ketentuan proprio motu akan memastikan terwujudnya keadilan di atas keputusan-keputusan politis negara atau Dewan Keamanan PBB.

     

    Sebagai informasi, jaksa ICC sudah dua kali melaksanakan investigasi proprio motu atas kejahatan internasional. Yang pertama adalah investigasi atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Kenya. Investigasi ini kemudian berlanjut dengan persidangan atas enam pejabat negara Kenya, termasuk Uhuru Kenyatta yang saat ini menjabat sebagai Presiden Kenya.

     

    Yang kedua adalah investigasi atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Cote d’Ivoire (Pantai Gading), yang berlanjut dengan persidangan atas Laurent Gbagbo, mantan Presiden Pantai Gading.

     
    Dasar Hukum:

    The Rome Statute of the International Criminal Court

     

    Referensi:

    Anja Seibert-Fohr, “The Relevance of the Rome Statute of the International Criminal Court for Amnesties and Truth Commissions”, http://www.mpil.de/ww/de/pub/forschung/forschung_im_detail/publikationen/institut/mpyunl/volume_7.cfm, akses pada 3 April 2013.

     

    Susana SáCouto dan Katherine A. Cleary, “The Gravity Threshold of the International Criminal Court”. http://digitalcommons.wcl.american.edu/auilr/vol23/iss5/1/, akses pada 3 April 2013.

     

    Luis Moreno-Ocampo, The International Criminal Court: Seeking Global Justice, http://law.case.edu/journals/JIL/Documents/(12)Luis%20Moreno-Ocampo.pdf, akses pada 3 April 2013.

     

    Tags

    statuta roma

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Pindah Kewarganegaraan WNI Menjadi WNA

    25 Mar 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!