KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Langkah Hukum Jika Salinan Perjanjian Kerja Tak Diberikan kepada Pekerja

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Langkah Hukum Jika Salinan Perjanjian Kerja Tak Diberikan kepada Pekerja

Langkah Hukum Jika Salinan Perjanjian Kerja Tak Diberikan kepada Pekerja
Chrisman Reynold Silaen, S.H.Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
Langkah Hukum Jika Salinan Perjanjian Kerja Tak Diberikan kepada Pekerja

PERTANYAAN

Bagaimana hukumnya jika pekerja yang selama bekerja belum mendapatkan salinan kontrak kerja, sampai pada akhirnya pekerja tersebut resign sebelum 1 month notice dan masih belum diberikan salinan kontrak kerjanya. Apakah pekerja tersebut berhak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perjanjian kerja atau dikenal juga dengan istilah kontrak kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, yang dapat dituangkan dalam bentuk tertulis ataupun lisan.

    Pada prinsipnya, perjanjian kerja secara tertulis dibuat minimal rangkap 2 yang masing-masing diberikan kepada para pihak dan keduanya memiliki kekuatan hukum yang sama.

    Jika salah satu rangkap atau salinan perjanjian kerja tersebut tidak diberikan kepada pekerja, langkah apa yang dapat ditempuh?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Apakah Pekerja Berhak Mendapatkan Salinan Kontrak Kerja?

    Pertama-tama perlu diketahui bahwa hubungan hukum antara pekerja dan pengusaha dalam undang-undang disebut sebagai hubungan kerja. Lebih detail, definisi hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.[1]

    KLINIK TERKAIT

    Aturan Kenaikan Gaji Karyawan Menurut UU Cipta Kerja

    Aturan Kenaikan Gaji Karyawan Menurut UU Cipta Kerja

    Menurut Ida Hanifa dalam bukunya Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia (hal. 64) hubungan kerja pada dasarnya adalah hubungan antara kedua belah pihak yaitu pengusaha dengan pekerja/buruh, dengan suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pekerja/buruh) mengikatkan dirinya pada pihak lain (pengusaha) untuk bekerja dengan mendapatkan upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah.

    Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa  kata kunci dari hubungan kerja adalah perjanjian kerja. Adapun Imam Soepomo dalam bukunya Hukum Perburuhan (hal. 1) berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu yaitu buruh mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lain yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Selanjutnya, Yunus Shamad dalam buku Hubungan Industrial di Indonesia (hal. 53) berpandangan bahwa perjanjian kerja ialah suatu perjanjian dimana seseorang mengikatkan diri untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama.

    Secara yuridis, Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan mendefinisikan perjanjian kerja sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

    Dengan demikian, perjanjian kerja menjadi pondasi atau dasar adanya hubungan kerja antara pihak pekerja dengan pengusaha.

    Lebih lanjut, perjanjian kerja dapat dibuat baik secara tertulis maupun lisan. Terhadap perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis (misalnya perjanjian kerja waktu tertentu) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]

    Lalu, apakah kontrak kerja harus rangkap 2? Jawabannya benar. Perjanjian kerja secara tertulis dibuat minimal 2 rangkap yang masing-masing wajib diberikan kepada pekerja dan pengusaha. Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 54 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:

    Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

    Berdasarkan isi Pasal 54 ayat (3) tersebut, maka perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis itu wajib dimiliki oleh para pihak yang membuatnya yaitu pihak pekerja dengan pengusaha dan keduanya memiliki kekuatan hukum yang sama.

    Langkah Hukum Jika Salinan Perjanjian Kerja Tidak Diberikan

    Lantas, bagaimana hukumnya bila perjanjian kerja hanya dimiliki oleh pihak pengusaha, namun pihak pekerja tidak memilikinya? Dalam UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja, tidak diatur secara tegas mengenai sanksi apabila rangkap atau salinan perjanjian kerja tidak berikan kepada pekerja.

    Namun demikian, karena dalam ketentuan undang-undang wajib hukumnya perjanjian kerja dimiliki oleh para pihak yang membuatnya, maka menurut hemat kami, tidak ada alasan bagi pengusaha untuk tidak memberikan perjanjian kerja meskipun terdapat hal-hal yang dirahasiakan.

    Dokumen perjanjian kerja adalah hak karyawan yang harus diberikan oleh perusahaan. Jika salinan perjanjian kerja sebagaimana Anda maksud tidak diberikan kepada pekerja, maka upaya yang dapat ditempuh terlebih dahulu yaitu dengan melakukan perundingan bipartit yaitu perundingan antara pengusaha dengan pekerja dalam satu perusahaan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.[3]

    Jika perundingan bipartit gagal, Anda dapat mengupayakan perundingan tripartit melalui mediasi untuk kasus perselisihan hak[4] seperti tidak mendapatkan salinan/dokumen perjanjian kerja. Dalam hal ini, Anda dapat ditengahi oleh mediator yang netral dari kantor Dinas Ketenagakerjaan.[5]

    Selengkapnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa antara pekerja dan pengusaha ini, dapat Anda simak dalam 3 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

    Hak Pekerja Resign yang Tak Punya Salinan Perjanjian Kerja

    Menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah pekerja resign yang belum mendapatkan dokumen perjanjian kerja tetap bisa mendapatkan hak-haknya, menurut hemat kami pekerja tersebut tetap berhak mendapatkan hak-haknya karena telah ada hubungan kerja yaitu adanya perjanjian, dan telah ada unsur perintah, pekerjaan, dan upah.

    Adapun hak-hak pekerja resign atau mengundurkan diri atas kemauan sendiri adalah uang penggantian hak dan uang pisah yang besarannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[6]

    Lebih lanjut mengenai hak-hak pekerja yang resign dapat dibaca selengkapnya dalam artikel Hak-hak Karyawan yang Di-PHK dan yang Resign.

    Namun perlu diperhatikan bahwa pekerja yang resign atas kemauan sendiri harus memenuhi syarat:[7]

    1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
    2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
    3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

    Dengan demikian, karyawan yang resign hendaknya memenuhi persyaratan di atas, termasuk permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari atau dikenal dengan istilah one month notice.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Terima kasih.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
    2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
    3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

    Referensi:

    1. Ida Hanifa. Hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Medan: Pustaka Prima, 2020;
    2. Imam Soepomo. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta: Djambatan, 1987;
    3. Yunus Shamad. Hubungan Industrial di Indonesia. Jakarta: Bina Sumber Daya Manusia, 1995.

    [1] Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)

    [2] Pasal 51 UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya

    [3] Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”) dan penjelasannya

    [4] Pasal 1 angka 11 UU PPHI

    [5] Pasal 8 UU PPHI

    [6] Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja

    [7] Pasal 81 angka 45 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf i UU Ketenagakerjaan

    Tags

    perjanjian kerja
    resign

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Cicil Rumah dengan KPR Agar Terhindar Risiko Hukum

    2 Apr 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!