Apa itu judicial review dan legislative review serta bagaimana praktiknya?
Hal-hal apa sajakah yang dapat dilakukan review?
Bagaimanakah review dilakukan oleh masing-masing lembaga yang terkait dengan adanya trias politica?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Legislative review adalah mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan dalam hal ini pada undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh DPR.
Sedangkan judicial review adalah pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga peradilan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Lantas, apa saja perbedaan legislative review dan judicial review?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia yang dibuat oleh Ali Salmande, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 6 Mei 2011.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Executive Review, Legislative Review dan Judicial Review
Pada dasarnya, kewenangan melakukan pengujian atau review dikenal dengan toetsingsrecht.[1]Kewenangan pengujian tersebut dibagi menjadi hak pengujian materil dan hak pengujian formil.[2]Di Indonesia, kewenangan melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dimiliki oleh lembaga yudikatif dan lembaga legislatif. Kewenangan tersebut disebut legislative review dan judicial review.
Sebagai informasi, terkait kewenangan executive review pasca Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 56/PUU-XIV/2016 lembaga eksekutif dalam hal ini Menteri Dalam Negeri dan Gubernur tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan review peraturan daerah.[3]
Adapun konsep pengujian atau review muncul dikarenakan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dikehendaki adanya perubahan. Selain itu, terdapat kewenangan melakukan review yang harus dijalankan berdasarkan UUD 1945.
Kembali ke pengertian toetsingsrecht, apa yang dimaksud dengan legislative review? Dapat diartikan legislative review adalah mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif. Lalu, apa itu judicial review? Singkatnya judicial review adalah mekanisme pengujian terhadap peraturan perundang-undangan oleh pengadilan dengan objek pengujiannya adalah peraturan yang lebih rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi.[4] Perbedaan legislative review dengan judicial review terletak pada subjek yang melakukan review dengan kewenangan yang melekat kepada lembaga negara tersebut.
Pada praktiknya, siapa yang berwenang melakukan legislative review adalah Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) yaitu terkait undang-undang berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“perppu”) berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikutnya.
Artinya, DPR dapat menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap perppu. Selanjutnya, jika DPR setuju maka perppu tersebut ditetapkan sebagai undang-undang. Pada legislative review,pengujian lebih condong kepada pandangan anggota DPR terhadap urgensi perppu ditetapkan menjadi undang-undang atau dapat diartikan legislative review sebagai pengujian dari segi politis fraksi dalam DPR.[5]
Sementara, judicial review dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) dan Mahkamah Agung (“MA”) sebagai lembaga peradilan. Pengujian itu melingkupi pengujian secara materil dan formil. Kewenangan MK melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi. Sedangkan untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan judicial review Mahkamah Agung dengan kewenangan hak uji materil. Kewenangan MK dan MA melakukan judicial review dilakukan berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian, perbedaan signifikan antara legislative review dan judicial review terletak pada subjek yang melakukan review dan objek review sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi yang akan kami terangkan dalam tabel berikut ini.
Pembeda
Legislative Review
Judicial Review
Subjek
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
Objek
Pengujian undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk disetujui.
MA: kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
MK: kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
Konsep trias politica tidak secara mutlak diterapkan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat bahwa terdapat lembaga legislatif sebagai pembentuk undang-undang, namun juga dapat melakukan reviewundang-undang yang dikeluarkannya sendiri serta menyetujui atau tidak menyetujui perppu.
Sedangkan, pada konsep trias politica, lembaga yudikatif yang berwenang secara penuh melakukan pengujian. Di Indonesia, judicial review dilakukan oleh MA dan MK sebagai lembaga peradilan sesuai kewenangannya sebagaimana diterangkan. Namun demikian, review yang dilakukan setiap lembaga yang berwenang pada intinya merupakan wujud dari check and balance.
Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001;
R. Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1992;
Ali Marwan, Judicial Review dan Legislative Review Terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 17 No. 1, Maret 2020;
Nurul Qamar, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012;
Taufik H. Simatupang, Mendudukkan Konsep Executive Review dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 19, No. 2, 2019.
[1] R. Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, hal. 27
[2] Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, hal. 127
[3] Taufik H. Simatupang, Mendudukkan Konsep Executive Review dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 19, No. 2, 2019, hal. 227
[4] Nurul Qamar, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012, hal. 2
[5] Ali Marwan, Judicial Review dan Legislative Review Terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal Legislative Indonesia, Vol. 17 No. 1, Maret 2020, hal. 55