KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Memahami Perjanjian Pengangkutan Melalui Darat, Laut, dan Udara

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Memahami Perjanjian Pengangkutan Melalui Darat, Laut, dan Udara

Memahami Perjanjian Pengangkutan Melalui Darat, Laut, dan Udara
Kartika Paramita, S.H., LL.M.International Business Law Program Universitas Prasetiya Mulya
International Business Law Program Universitas Prasetiya Mulya
Bacaan 10 Menit
Memahami Perjanjian Pengangkutan Melalui Darat, Laut, dan Udara

PERTANYAAN

Mohon dijelaskan mengenai sifat-sifat dan rambu-rambu dalam perjanjian pengangkutan dan apa saja sumber-sumber/dasar hukum dari pengangkutan darat, laut, dan udara?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Secara umum, aturan perjanjian pengangkutan tidak bisa dilepaskan dari hukum perikatan sebagaimana tertera dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan (Verbintenis) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

    Beberapa hal yang biasanya diatur dalam perjanjian pengangkutan antara lain:

    1. Definisi mengenai pengangkut dan pemilik barang;
    2. Rezim hukum yang berlaku;
    3. Hak dan kewajiban pengangkut dan pemilik barang;
    4. Tanggung jawab pengangkut;
    5. Periode berlakunya tanggung jawab;
    6. Pengecualian tanggung jawab pengangkut dan beban pembuktian;
    7. Batasan ganti rugi; dan
    8. Penyelesaian sengketa.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Arti Perjanjian Pengangkutan

    KLINIK TERKAIT

    Rumus Hitung Pajak untuk Jasa Freight Forwarding

    Rumus Hitung Pajak untuk Jasa <i>Freight Forwarding</i>

    R. Soekardono dalam bukunya Hukum Dagang Indonesia mengemukakan bahwa perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik, pihak pengangkut yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya, pengirim atau penumpang berkewajiban untuk membayar biaya pengangkutan (hal. 14).

    Sependapat dengan pandangan tersebut, melalui buku Aneka Perjanjian yang ditulis oleh R. Subekti mendefinisikan perjanjian pengangkutan sebagai suatu perjanjian di mana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar ongkosnya (hal. 69).

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Sehingga bisa disimpulkan perjanjian pengangkutan pada prinsipnya bersifat timbal balik di mana kedudukan pengirim dan pengangkut sama tinggi dan masing-masing memiliki hak dan kewajiban.

    Selanjutnya menurut H.M.N. Purwosutjipto pada buku yang berjudul Pengertian Pokok Hukum Dagang, Buku 3 Hukum Pengangkutan perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran antara perjanjian pelayanan berkala dengan perjanjian penyimpanan (bewaargeving) yang di dalamnya terdapat unsur pemberian kuasa (lastgeving) (hal. 7 - 10).

    Perjanjian pelayanan berkala terjadi karena hubungan antara pengangkut dan pengirim tidak berlangsung terus-menerus, melainkan hanya pada saat tertentu di kala pengirim hendak mengirimkan barang.

    Unsur penyimpanan dinyatakan dalam Pasal 468 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”) yang berbunyi:

    Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya.

    Sementara unsur pemberian kuasa antara lain dinyatakan dalam Pasal 371 ayat (1) KUHD yaitu:

    Nahkoda wajib menjaga kepentingan mereka yang berhak atas muatannya selama perjalanan, untuk mengambil tindakan yang perlu untuk itu, dan bila perlu bertindak di depan pengadilan.

    Perjanjian pengangkutan bersifat konsensus, sehinggal pembuatan perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus tertulis, bisa saja cukup dengan lisan, asal ada persetujuan kehendak.

    Dokumen-dokumen konosemen, atau tanda penerimaan barang yang harus diberikan pengangkut kepada pengirim barang bukanlah merupakan syarat mutlak untuk membuat perjanjian pengangkutan. Sehingga hanya berfungsi sebagai salah satu bukti adanya perjanjian pengangkutan dan apabila dokumen itu tidak tersedia, bukan berarti perjanjian pengangkutan tidak ada.

     

    Isi Perjanjian Pengangkutan

    Secara umum, pengaturan perjanjian pengangkutan tidak bisa dilepaskan dari hukum perikatan sebagaimana tertera dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  tentang Perikatan (Verbintenis) dan KUHD. Selain itu, konten dari perjanjian pengangkutan juga ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan terkait sesuai dengan moda transportasi yang digunakan.

    Pada umumnya perjanjian pengangkutan berisi antara lain:

    1. Definisi mengenai pengangkut dan pemilik barang;
    2. Rezim hukum yang berlaku;
    3. Hak dan kewajiban pengangkut dan pemilik barang;
    4. Tanggung jawab pengangkut;
    5. Periode berlakunya tanggung jawab;
    6. Pengecualian tanggung jawab pengangkut dan beban pembuktian;
    7. Batasan ganti rugi; dan
    8. Penyelesaian sengketa.

     

    Pengangkutan Melalui Udara

    Hukum pengangkutan melalui udara di Indonesia secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) yang beberapa ketentuannya diubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturan baru melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
    Beberapa aspek perjanjian pengangkutan berdasarkan UU Penerbangan antara lain:

    1. Definisi Perjanjian Pengangkutan Udara dan Pengangkut

    Perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.[1]

    Selanjutnya, pengangkut berarti badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan UU Penerbangan ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.[2]

     

    1. Tanggung Jawab Pengangkut

    Meliputi kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.[3]

    Dalam hal tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan/atau pengirim kargo, Pasal 141 UU Penerbangan menyebutkan:

    1. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.
    2. Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam UU Penerbangan ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

    Selain itu, pengangkut juga bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi hilang atau rusak yang diakibatkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya selama bagasi berada dalam pengawasan pengangkut apabila dapat dibuktikan oleh si penumpang.[4]

     

    1. Pengecualian Tanggung Jawab Pengangkut

    Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai tanggung jawab pengangkut atas hilang atau rusaknya bagasi, namun apabila tidak disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, maka pengangkut tidak bertanggung jawab.[5]
    Kemudian pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atau kargo. Tapi, apabila dapat dibuktikan bahwa keterlambatan disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional, pengangkut tidak bertanggung jawab.[6]

     

    Pengangkutan Melalui Jalur Darat

    Pengangkutan melalui jalur darat tidak hanya bicara mengenai pengangkutan melalui jalan raya tapi mencakup pula pengangkutan kereta api, yang akan kami jelaskan dalam artikel ini.

    Dasar hukum angkutan darat di antaranya:

    1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretapaian (“UU Perkeretapaian”);
    2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”);
    3. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (“PP LLAJ”) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api.

     

    Beberapa aspek perjanjian pengangkutan melalui jalur darat:

    1. Definisi Pengangkut dan Perjanjian Pengangkutan

    UU LLAJ maupun UU Perkeretapian tidak memberikan definisi mengenai pengangkut. H.M.N. Purwosutjipto sendiri mendefinisikannya sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, di mana pihak lainnya adalah pengirim.[7]

    UU LLAJ hanya mendefinisikan perusahaan angkutan umum sebagai badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan bermotor umum.[8]

    Sementara itu, UU Perkeretapaian hanya memberikan definisi penyelenggara prasarana perkeretaapian sebagai pihak yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian dan badan usaha yang mengusahakan sarana perkeretaapian umum.[9]

    Selanjutnya, menurut UU LLAJ didefinisikan surat perjanjian pengangkutan barang sebagai bukti pembayaran sah antara pengangkut barang dan pengirim barang.[10] Kemudian mengutip dari PP LLAJ, menjelaskan perjanjian angkutan dibuat antara penyelenggara sarana perkeretapaian dengan pengguna jasa angkutan kereta api.[11]

    Isi perjanjian angkutan barang tersebut minimal memuat:[12] nama dan alamat pengguna jasa angkutan kereta api; nama stasiun pemberangkatan dan stasiun tujuan; tanggal dan waktu keberangkatan dan kedatangan; jenis barang yang diangkut; dan tarif yang disepakati.

     

    1. Mengenai Tanggung Jawab Pengangkut

    Perusahaan angkutan umum bertanggung jawab:[13]

    1. Kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan;
    2. Kerugian yang diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecualii disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan penumpang.
    3. Kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.

    Pasal 157 s.d Pasal 159 UU Perkeretaapian menjelaskan tanggung jawab penyelenggara sarana perkeretaapian:

    1. Terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api;
    2. Kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang hilang, rusak, atau musnah yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api;
    3. Kerugian yang diderita pihak ketiga dengan dibuktikan bahwa disebabkan oleh kesalahan penyelenggara sarana perkeretaapian.

    Di sisi lain, Pasal 87 s.d Pasal 89 UU Perkeretaapian menjelaskan tanggung jawab penyelenggara prasarana perkeretaapian:

    1. Bertanggungjawab kepada penyelenggara sarana perkeretaapian dan pihak ketiga atas kerugian sebagai akibat kecelakaan yang disebabkan kesalahan pengoperasian prasarana perkeretaapian;
    2. Bertanggungjawab kepada pihak ketiga dan petugas prasarana perkeretaapian atas kerugian harta benda, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian.

     

    Pengangkutan Melalui Jalur Laut

    Penyelenggaraan angkutan laut di Indonesia sebagian besar diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (“UU Pelayaran”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan dan perubahannya.

    Tanggung jawab pengangkut di jalur laut dijabarkan pada Pasal 40 s.d 42 UU Pelayaran. Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.[14]

    Tanggung jawab di atas dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:[15]

    1.  
    2. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
    3. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
    4. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
    5. kerugian pihak ketiga.

    Selain itu, perusahaan angkutan di perairan juga wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.[16]

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
    2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;  
    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
    4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretapaian;
    5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
    6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
    7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    8. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api;
    9. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan.

     

    Referensi:

    1. R. Soekardono. Hukum Dagang Indonesia Jilid II, Jakarta: Rajawalipres, Cetakan 3, 1984;
    2. R. Subekti, Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya, 1995;
    3. H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang, Buku 3 Hukum Pengangkutan. Jakarta: Djambatan, 2003.

    [1] Pasal 1 angka 29 UU Penerbangan

    [2] Pasal 1 angka 26 UU Penerbangan

    [3] Pasal 1 angka 22 UU Penerbangan

    [4] Pasal 143 UU Penerbangan

    [5] Pasal 143 UU Penerbangan

    [6] Pasal 146 UU Penerbangan

    [7] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Buku 3 Hukum Pengangkutan, Jakarta: Djambatan, 2003, hal. 28.

    [8] Pasal 1 angka 21 UU LLAJ

    [9] Pasal 1 angka 16 dan 17 UU Perkeretaapian

    [10] Penjelasan Pasal 166 ayat (3) huruf a UU LLAJ

    [11] Pasal 144 ayat (1) PP LLAJ

    [12] Pasal 144 ayat (2) PP LLAJ

    [13] Pasal 191 s.d Pasal 193 UU LLAJ

    [14] Pasal 40 UU Pelayaran

    [15] Pasal 41 ayat (1) UU Pelayaran

    [16] Pasal 42 ayat (1) UU Pelayaran

    Tags

    perjanjian
    angkutan barang

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan

    1 Sep 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!