Adik saya berumur 16 Tahun dan duduk di bangku SMA. Dia keluar dikarenakan takut pada salah satu Dewan Guru yang mengirim surat cinta kepadanya. Guru tersebut berumur sekitar 44 Tahun. Ada kemungkinan adik saya kehilangan kepercayaan diri (mental) untuk ke sekolah tersebut. Saya ingin menjerat beliau dengan pasal perlindungan anak. Langkah apa saja yang harus saya lakukan? Dan pasal berapa yang dapat menjeratnya? Mohon segera dijawab karena ini sangat mendesak. Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Intisari:
Hilangnya rasa kepercayaan diri merupakan salah satu bentuk kekerasan psikis. Perbuatan guru yang mengirim surat cinta kepada siswanya hingga berakibat hilangnya rasa kepercayaan diri itu antara lain dapat diancam berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Guru dan Dosen. Lalu apa langkah hukum yang dapat dilakukan?
Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial.[1]
Dari sini dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan, baik fisik, mental, maupun sosial dalam tubuh kembangnya, termasuk adik Anda.
Dalam konteks perlindungan anak di lingkungan sekolahnya, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lain yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.[2]
Yang dimaksud dengan “lingkungan satuan pendidikan” adalah tempat atau wilayah berlangsungnya proses pendidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain petugas keamanan, petugas kebersihan, penjual makanan, petugas kantin, petugas jemputan sekolah, dan penjaga sekolah.[3]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Perlindungan tersebut dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.[4]
Melihat dari akibat dikirimkannya surat cinta dari guru kepada siswanya (adik Anda) berupa hilangnya rasa kepercayaan diri dan ketakutan pada adik Anda, maka perbuatan guru tersebut digolongkan sebagai kekerasan psikis.
“Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”
Sedangkan arti kekerasan itu adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.[5]
Memang, untuk dapat dikatakan bahwa perbuatan guru sebagai pendidik yang memberikan surat cinta kepada adik Anda sebagai siswa itu merupakan perbuatan kesengajaan yang dengan maksud agar adik Anda menderita secara psikis atau tidak, perlu didukung oleh bukti-bukti yang lain. Namun, berpedoman pada kewajiban pendidik dalam lingkungan satuan pendidikan di atas, guru di sekolah adik Anda pada dasarnya wajib memberikan perlindungan kepada siswanya dari tindakan kekerasan psikis.
Anda juga menyebut soal penderitaan adik Anda secara mental. Sebagai anak, adik Anda tentu juga merupakan manusia yang memiliki sejumlah hak asasi manusia sama seperti manusia lainnya. Untuk itu, kami juga berpedoman pada Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
“Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan.”
Tidak hanya menyangkut perlindungan anak dan HAM, perilaku guru yang mengirim surat cinta kepada siswanya tersebut dapat dipandang juga sebagai pelanggaran dari etika guru itu sendiri. Yang mana dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru memiliki kewajiban, salah satunya adalah menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.[6]
Guru yang tidak menjalankan kewajibannya dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, berupa:[7]
a.teguran;
b.peringatan tertulis;
c.penundaan pemberian hak guru;
d.penurunan pangkat;
e.pemberhentian dengan hormat; atau
f.pemberhentian tidak dengan hormat.
Soal langkah yang dapat Anda lakukan, kami menyarankan agar Anda dapat menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan guru adik Anda. Salah satunya dengan mengadukan masalah tersebut kepada Kepala Sekolah. Bagaimanapun juga, langkah hukum hendaknya dijadikan upaya terakhir setelah upaya perdamaian telah dilakukan.
Apabila tidak berhasil, Anda dapat melaporkan perilaku guru di antaranya adalah ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (“KPAI”). Masih bersumber dari tulisan sama yang kami akses dari laman Kemensos RI di atas, dijelaskan bahwa berdasarkan laporan Unicef dan KPAI (2007), sekurang-kurangnya ada enam lingkungan sosial yang potensial melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Selain lingkungan keluarga, tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh famili, teman sekolah, guru, orang dewasa lain dan teman bermain anak.
Untuk itu, kami menyarankan agar Anda dapat melaporkan tindakan guru yang telah melakukan kekerasan psikis kepada adik Anda. Laporan tersebut bisa juga melalui KPAI karena salah satu tugas KPAI adalah menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan Masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak serta memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap UU 35/2014.[8]
Mediasi dan evaluasi
Salah seorang pendiri situs http://pranikah.org/Ade Novita, S.H., berdasarkan wawancara via telepon dengan kami antara lain menjelaskan bahwa dari sisi guru, perlu ada assessment, akan banyak risiko-risiko hukum bagi guru (karena kasus pedofil misalnya). Namun perlu dibuktikan, adakah niat jahat dari guru itu? Jika memang anak merasa terancam karena niat jahat dari guru, pilihan mediasi di sekolah patut dipertimbangkan selama masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Dari sisi psikologis, Anna Surti Ariani, S.Psi, M.Si, Psi., psikolog dari Pranikahantara lain menjelaskan bahwa, sebagaimana kami sarikan, jatuh cinta merupakan hal yang sulit dicegah dan wajar, sekalipun di usia 44 tahun. Dari sisi ketidaknyamanan yang dirasakan oleh anak, ada yang harus ditangani:
Eksternal
Pihak sekolah bisa memediasi guru dan siswa. Anjuran yang diberikan kepada guru antara lain agar guru yang bersangkutan tidak dekat dulu dengan si anak. Sekolah juga bisa mengatur agar anak tersebut tidak diajar sementara oleh guru yang bersangkutan. Misalnya, jika memang hanya ada seorang guru di satu mata pelajaran, anak tersebut bisa meminta untuk didampingi oleh guru atau murid lain yang ia percaya. Melalui guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan) atau wali kelasnya, anak tersebut bisa konseling sehingga ia merasa didengarkan dan nyaman.
Jika anak sampai merasa takut dan tidak mau pergi ke sekolah, wali kelas bisa main ke rumah si anak, meyakinkannya agar ia akan dijaga saat di sekolah sehingga anak mau keluar dan bersekolah.
Internal
Rasa keberanian penting dimunculkan pada sisi anak itu sendiri. Ia perlu diyakinkan atau didukung, salah satunya oleh orang tua. Sebaiknya untuk melapor, biarkan anak itu melapor tindakan gurunya, orang tua sifatnya hanya mendampingi saja.
Jika anak sendiri melaporkan tindakan gurunya, ini berguna bagi diri dia sendiri: pertama, dia belajar tanggung jawab untuk diri sendiri (speak up) dan kedua, dia belajar mengatur emosinya agar rasa takutnya tidak berlebihan.
Jika anak sendiri melaporkan tindakan gurunya, ini juga berguna bagi orang lain yang melihat: orang juga bisa mengetahui bahwa ia harus membela diri dia sendiri (pembelajarannya meluas).
Jika mediasi telah selesai, perlu ada evaluasi, katakanlah dua bulan. Jangan sampai kasus ini meninggalkan stigma negatif baik terhadap guru, maupun siswa tersebut. Bisa saja guru nantinya dipandang negatif setelah kejadian ini dan siswa juga dipandang negatif karena dianggap berlebihan. Dalam hal ini, baik guru maupun anak perlu diberdayakan, khususnya bagi anak agar ia diusahakan untuk tetap bagus performanya di sekolah.
Penjawab telah melakukan wawancara dengan Ade Novita, S.H. via telepon pada 16 Juni 2015 pukul 10.05 WIB dan dengan Anna Surti Ariani, S.Psi, M.Si, Psi. pada 16 Juni 2015 pukul 10.29 WIB.