Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pendirian Rumah Ibadah
IMB rumah ibadah adalah
izin yang diterbitkan oleh bupati/walikota untuk pembangunan rumah ibadah.
[1]
Pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
[2]
Pendirian dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
Apabila keperluan nyata yang dimaksud tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.
[3]
Pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Selain itu, pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:
[4]daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah;
dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang diarahkan oleh lurah/kepala desa. Apabila persyaratan pengguna minimum terpenuhi, namun syarat dukungan masyarakat setempat belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.
rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota;
rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (“FKUB”) kabupaten/kota yang merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB dituangkan dalam bentuk tertulis.
Permohonan pendirian rumah ibadah diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadah kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadah. Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian rumah ibadah.
[5]
Tuntutan Relokasi Rumah Ibadah
Sayangnya, Anda tidak menjelaskan alasan yang menyebabkan izin rumah ibadah dicabut. Peraturan Bersama Menag dan Mendagri 9, 8/2006 pun tidak mengatur relokasi rumah ibadah yang izinnya dicabut.
Pemerintah daerah hanya diperintahkan memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadah yang telah memiliki lMB yang dipindahkan, karena perubahan rencana tata ruang wilayah.
[6]
Kami pun belum menemukan adanya peraturan maupun putusan yang memungkinkan rumah ibadah direlokasi, karena izinnya dicabut.
Berbeda dengan gugatan di muka pengadilan perdata, maka apa yang dapat dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha Negara terbatas pada 1 (satu) macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang telah merugikan kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah.
Tuntutan tambahan yang dibolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam sengketa kepegawaian saja dibolehkan adanya tuntutan tambahan lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi.
Menurut hemat kami, sebelum menuntut relokasi, Anda dapat menggugat pencabutan izin terlebih dahulu setelah melalui upaya administratif. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 48 UU PTUN yang berbunyi:
Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia.
Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Warga masyarakat yang dirugikan terhadap keputusan dan/atau tindakan dapat mengajukan upaya administratif kepada pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.
[8]
Pencabutan izin dapat dikategorikan sebagai sebuah keputusan tata usaha negara yang dimaksud dalam UU 30/2014. Keputusan tata usaha negara adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
[9]
Keputusan baru yang mencabut suatu keputusan diterbitkan dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Keputusan pencabutan dapat dilakukan:
[10]oleh pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan;
oleh atasan pejabat yang menetapkan keputusan; atau
atas perintah pengadilan.
Keputusan pencabutan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dan atasan pejabat dilakukan paling lama lima hari kerja sejak ditemukannya dasar pencabutan dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.
[11]
Namun harus diingat, upaya administratif tidak menunda pelaksanaan keputusan dan/atau tindakan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang dan menimbulkan kerugian yang lebih besar.
[12]
Badan dan/atau pejabat pemerintahan berwenang menyelesaikan keberatan atas keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan yang diajukan oleh warga masyarakat kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan tersebut. Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling lama 21 hari kerja sejak diumumkannya keputusan tersebut oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
[13]
Apabila warga masyarakat tidak menerima penyelesaian keberatan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, warga masyarakat dapat mengajukan banding kepada atasan pejabat yang menetapkan keputusan tersebut. Keputusan dapat diajukan banding dalam waktu paling lama 10 hari kerja sejak keputusan upaya keberatan diterima.
[14]
Apabila warga masyarakat tidak menerima penyelesaian banding oleh atasan pejabat, warga masyarakat dapat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.
[15] Uraian lebih lanjut mengenai alur gugatan ke pengadilan tata usaha negara dapat Anda baca dalam artikel
Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara.
Contoh Kasus
Salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan masalah IMB rumah ibadah dapat Anda temukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 127 PK/TUN/2009.
Putusan tersebut memutus peninjauan kembali yang diajukan oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor atas Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 241/B/2008/PTTUN.JKT (“Putusan PTTUN Jakarta 241/2008”), dengan perwakilan Gereja Kristen Indonesia (“GKI”) Pengadilan sebagai Termohon Peninjauan Kembali (dulu Para Penggugat) (hal. 1 – 2).
Objek gugatan adalah surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor Nomor 503/208-DTKP Perihal Pembekuan Izin tertanggal 14 Februari 2008 (hal. 2). Surat tersebut memuat pembekuan IMB guna pembangunan Gereja Taman Yasmin. Akibatnya, pembangunan tempat ibadah yang dibutuhkan oleh Para Penggugat untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan Para Penggugat menjadi terhenti sama sekali, sehingga kepentingan Para Penggugat sangat dirugikan (hal. 3 – 4).
Pendirian Gereja Taman Yasmin juga telah didukung oleh masyarakat sekitar gereja dan telah pula disosialisasikan (hal. 6 – 8). Walikota Bogor kemudian menerbitkan IMB yang dimohonkan dengan menerbitkan Surat Keputusan Walikota Bogor Nomor 645.8-372 Tahun 2006 tertanggal 13 Juli 2006 (hal. 9).
Pada tingkat pertama, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung Nomor 41/G/2008/PTUN.BDG, tanggal 4 September 2008 mengabulkan gugatan jemaah GKI Pengadilan sebagai Para Penggugat. PTUN Bandung menyatakan batal Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor Nomor 503/208-DTKP Perihal Pembekuan Izin. PTUN Bandung juga memerintahkan agar surat tersebut dicabut (hal. 22).
Putusan PTTUN Jakarta 241/2008 pun menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung tersebut (hal. 23).
Terakhir, permohonan peninjauan kembali yang diajukan Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor tidak dapat diterima, karena telah melebihi batas waktu (hal. 23 – 24).
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 127 PK/TUN/2009.
[1] Pasal 1 angka 8 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri 9, 8/2006
[2] Pasal 13 ayat (1) Peraturan Bersama Menag dan Mendagri 9, 8/2006
[3] Pasal 13 ayat (2) dan (3) Peraturan Bersama Menag dan Mendagri 9, 8/2006
[4] Pasal 14 dan Pasal 15 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri 9, 8/2006
[5] Pasal 16 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri 9, 8/2006
[6] Pasal 17 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri 9, 8/2006
[7] Pasal 75 ayat (2) UU 30/2014
[8] Pasal 75 ayat (1) UU 30/2014
[9] Pasal 1 angka 7 UU 30/2014
[10] Pasal 64 ayat (2) dan (3) UU 30/2014
[11] Pasal 64 ayat (4) UU 30/2014
[12] Pasal 75 ayat (3) UU 30/2014
[13] Pasal 76 ayat (1)
vide Pasal 77 ayat (1) dan (2) UU 30/2014
[14] Pasal 76 ayat (2)
vide Pasal 78 ayat (1) dan (2) UU 30/2014
[15] Pasal 76 ayat (3) UU 30/2014