1). Apa perbedaan penggunan Kawasan Hutan Vertikal dengan Horizontal? Apakah pengertian penambangan dengan pola pertambangan terbuka? Beserta dasar hukumnya untuk pertambangan. 2) Dalam surat perjanjian pada klausul arbitrase antara Badan hukum Indonesia dengan Badan Hukum Asing, apakah diperbolehkan dicantumkan klausul sebagai berikut, a. Seat of arbitration: Singapore. b. Rules of arbitration: SIAC rules. c. Regulation: Indonesia.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara tanyakan. Berikut adalah jawaban atas pertanyaan sebagaimana Saudara tanyakan.
a.Dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan: (1) penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan (2) penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah;
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
b.Dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan dengan pola pertambangan bawah tanah.
Merujuk pada ketentuan tersebut maka dapat diartikan bahwa penggunaan kawasan hutan secara Vertikal adalah penambangan yang dilakukan dengan pola penambangan bawah tanah. Adapun pengertian penambangan di bawah tanah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2Perpres No. 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah (“Perpres 28/2011”) yakni penambangan yang kegiatannya dilakukan di bawah tanah (tidak langsung berhubungan dengan udara luar) dengan membuat jalan masuk berupa sumuran (shaft) atau terowongan (tunnel) atau terowongan buntu (adit) termasuk sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pertambangan.
Selanjutnya, untuk pengertian penggunaan kawasan hutan secara Horizontal adalah penambangan yang dilakukan dengan pola pertambangan terbuka. Pengertian penambangan dengan pola pertambangan terbuka dapat kita pahami dari pengertian Pasal 1 ayat (1)Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan Untuk Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara (“Permen 4/2012”) yang menyebutkan bahwa penambangan terbuka adalah metode penambangan yang segala kegiatannya atau aktivitasnya dilakukan di atas atau relatif dekat dengan permukaan bumi dan tempat kerjanya berhubungan langsung dengan udara luar.
Perbedaan antara penggunaan kawasan hutan secara Vertikal dan Horizontal adalah terdiri atas hal-hal sebagai berikut:
(1) luas cakupan, pada penggunaan kawasan hutan secara Horizontal akan mencakup kawasan hutan lebih luas daripada penggunaan kawasan hutan secara Vertikal. Hal ini akan berdampak pada pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan. Apabila penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan memiliki cakupan yang luas serta bernilai strategis yakni pertambangan yang berada di dalam Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) yang berasal dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang mana perubahan wilayah tersebut telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maka izin tersebut hanya bisa diberikan oleh Menteri Kehutanan setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat dengan mengacu pada ketentuan dalam Pasal 9Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan (“Permen P.18/2011”);
(2) jenis hutan, penggunaan kawasan hutan secara Vertikal dapat dilakukan pada jenis hutan produksi dan hutan lindung, sedangkan penggunaan kawasan hutan secara Horizontal hanya dapat dilakukan pada jenis hutan produksi saja;
(3) besaran PNBP, sesuai dengan ketentuan PP 2/2008 disebutkan bahwa besaran jumlah PNBP berbeda antara penggunaan kawasan hutan secara Vertikal dan Horizontal.
2.Dalam Pasal 1 angka 3Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”) dijelaskan bahwa Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Adapun kesepakatan para pihak sebagaimana dituangkan dalam Perjanjian Arbitrase akan menentukan kewenangan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase. Sehingga Pengadilan Negeri tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak yang telah terikat dalam Perjanjian Arbitrase.
Apabila dalam suatu Perjanjian terdapat klausul arbitrase di mana dicantumkan lokasi pelaksanaan arbitrase di Singapore, menggunakan hukum acara Singapore International Arbitration Centre (“SIAC”) dan dengan menggunakan ketentuan hukum Indonesia. Karena itu, menurut Pasal 34 UU 30/1999 disebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Penyelesaian melalui lembaga arbitrase yang dipilih akan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak. Selanjutnya, pilihan hukum yang akan berlaku atas penyelesaian sengketa tersebut dapat ditentukan secara bebas oleh para pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU 30/1999.
Dengan demikian, secara hukum diperbolehkan adanya klausula demikian. Namun, perlu diperhatikan kemungkinan akan adanya hambatan dalam praktik pelaksanaan arbitrase dengan ketentuan demikian. Apabila menunjuk SIAC sebagai lembaga penyelesaian sengketa maka arbitrase akan diselesaikan oleh arbiter yang terdaftar di SIAC. Maka para pihak dituntut harus lebih teliti dalam hal penunjukkan arbiter dan dianjurkan agar memilih arbiter yang memiliki keahlian menguasai dan memahami hukum yang berlaku di Republik Indonesia.
Demikian kiranya yang dapat kami sampaikan, semoga dapat membatu.
4.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah
5.Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan Untuk Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara
6.Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan