Untuk persidangan yang terbuka untuk umum, pada dasarnya tidak ada aturan yang melarang perekaman jalannya persidangan. Bahkan, aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses Persidangan (“SEMA 4/2012”). 1. Apakah penyiaran langsung oleh televisi dapat disamakan dengan merekam? 2. Apakah diperbolehkan menyiarkan persidangan secara full dan live di stasiun telvisi? Apa dasar hukumnya? 3. Apa akibat hukum penyiaran tersebut, apakah melanggar KUHAP? Mohon pencerahaan, terima kasih.
Perekaman persidangan yang terbuka untuk umum, pada dasarnya tidak dilarang. Berdasarkan prinsip persidangan terbuka untuk umum tidak ada aturan mengenai pelarangan penyiaran secara langsung (live) sidang yang terbuka untuk umum.
Akan tetapi, penyiaran sidang secara langsung bisa berakibat pada pencemaran alat-alat bukti.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Prinsip Persidangan Terbuka untuk Umum
Dalam perkara pidana, persidangan yang terbuka untuk umum pada dasarnya adalah hak terdakwa, yakni hak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.[1] Prinsip ini disebut juga dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Tujuan perekaman proses sidang menurut SEMA ini adalah untuk memastikan pelaksanaan persidangan yang lebih transparan, akuntabel, dan teratur. Berikut aturan perekaman persidangan berdasarkan SEMA 4/2012:
1.Secara bertahap persidangan pada pengadilan tingkat pertama harus disertai rekaman audio visual dengan ketentuan sebagai berikut:
a.Hasil rekaman audio visual merupakan komplemen dari Berita Acara Persidangan;
b.Perekaman audio visual dilakukan secara sistematis dan terjamin integritasnya;
c.Hasil rekaman audio visual persidangan dikelola oleh kepaniteraan; dan
d.Hasil rekaman audio visual sebagai bagian dari bundel A.
2.Untuk memastikan pemenuhan ketentuan di atas, maka prioritas pelaksanaan rekaman audio visual pada persidangan akan dilakukan sebagai berikut:
a.Untuk tahap awal dilakukan pada perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi dan perkara lain yang menarik perhatian publik;
b.Ketua Pengadilan wajib memastikan terlaksananya perekaman audio visual sesuai dengan surat edaran ini;
c.Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum bertanggung jawab terhadap:
Penyiaran,menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Berdasarkan pengertian di atas kata penyiaran dan perekaman memiliki pengertian yang berbeda.
Merujuk pada prinsip persidangan terbuka untuk umum sebagaimana telah diuraikan di atas, memang tidak ada aturan mengenai pelarangan penyiaran secara langsung di televisi (live) sidang yang terbuka untuk umum. Akan tetapi, apakah penyiaran persidangan secara langsung di televisi dapat dikatakan sebagai salah satu cara untuk melaksanakan prinsip persidangan terbuka untuk umum?
Pandangan Hukum Terkait Penyiaran Persidangan
Dalam artikel Siaran Live, Tantangan dalam ‘Sidang Terbuka untuk Umum’ dikatakan bahwa sidang live adalah tafsir elastis terhadap konsep sidang terbuka untuk umum yang dikenal dalam KUHAP. Lantaran ada frasa ‘terbuka untuk umum’ maka seolah-olah siapapun bisa mengakses informasi proses persidangan. Pandangan yang cenderung tanpa batas inilah yang sering dikritik banyak kalangan. Media televisi yang menayangkan sidang secara live selama berjam-jam, serta komentator yang dihadirkan di ruang redaksi, dianggap melakukan trial by the press.
Eva Achjani Zulva, dosen hukum pidana Universitas Indonesia dalam artikel yang sama, melihat implikasi lebih jauh siaran live persidangan. Merujuk pada sidang Jessica Kumala Wongso, Eva menilai siaran langsung bisa berakibat pada pencemaran alat-alat bukti. Saksi dan ahli (dua alat bukti yang dikenal KUHAP) bisa saja terpengaruh oleh apa yang dikatakan komentator atau pernyataan-pernyataan saksi lain yang sudah lebih dahulu memberikan keterangan. Alhasil, seorang saksi atau ahli bisa saja mengubah keterangannya setelah menonton siaran live persidangan di rumahnya.Bahkan tak jarang pers justru memberikan pengaruh pada sidang pengadilan yang berjalan.
Sejalan dengan Eva, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan(LeIP), Astriyani, berpendapat makna ‘sidang terbuka untuk umum’ dalam KUHAP dan Undang-Undang bidang peradilan memang patut dicermati. Secara pribadi Eva kurang sependapat jika ditafsirkan dengan memperbolehkan siaran langsung persidangan. Ia membandingkan dengan sidang di sejumlah negara lain. Yang mana memotret persidangan saja tidak bisa kecuali ada izin. Wajah terdakwa pun hanya dibuat dalam bentuk sketsa.
Lebih lanjut, Eva menjelaskan sidang terbuka untuk umum bertujuan terjadi akuntabilitas dalam persidangan, memastikan para pihak yang berperkara mengajukan bukti yang cukup dan hakim mempertimbangkan bukti tersebut dari dua pihak secara akuntabel. Jika wartawan ingin datang dan memberitakan, itu tidak menjadi masalah. Tetapi kalau live akan menjadi kontraproduktif. Yang dikhawatirkan adalah hakim terpengaruh suara dan pandangan dari luar yang mengomentari proses persidangan.
Menurut Eva, untuk memastikan aparat penegak hukum yang menangani perkara benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik, berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, tidak perlu live. Selain itu, Eva juga berpendapat kegiatan yang menurunkan kewibawaan persidangan seperti mengomentari hakim merupakan bagian dari contempt of court.