KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Syarat Persetujuan RUPS untuk Melakukan PKB Sesuai Permeneg BUMN

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Syarat Persetujuan RUPS untuk Melakukan PKB Sesuai Permeneg BUMN

Syarat Persetujuan RUPS untuk Melakukan PKB Sesuai Permeneg BUMN
Umar KasimINDOLaw
INDOLaw
Bacaan 10 Menit
Syarat Persetujuan RUPS untuk Melakukan PKB Sesuai Permeneg BUMN

PERTANYAAN

Saya bekerja di sebuah perusahaan BUMN, dan saat ini sedang dalam proses perundingan PKB dengan Serikat Pekerja, PKB terakhir kami sudah diperpanjang sampai batas waktu 2 tahun. Sebelumnya ada dispute terkait materi PKB, khususnya menyangkut penghasilan karyawan. Bahwa sesuai dengan Peraturan Menteri BUMN No. 01/MBU/2011 yang berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2011, pada Pasal 39 disebutkan bahwa "Direksi harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari RUPS untuk melakukan perjanjian (PKB) dengan karyawan yang berkaitan dengan penghasilan karyawan yang tidak diwajibkan oleh atau melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan." Dengan adanya peraturan menteri yang baru tersebut, dalam hal konkret seperti apakah Direksi harus mendapat persetujuan RUPS tersebut? Dalam hal perundingan PKB telah dilaksanakan sejak sebelum berlakunya peraturan ini dan telah sepakat beberapa waktu setelah berlakunya peraturan tersebut, apakah kemudian mengikat untuk dilakukan RUPS terlebih dahulu?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Dari pertanyaan Saudara, intinya ada 2 (dua) permasalahan yang Saudara sampaikan, yakni: (1) seperti apa konkritnya persetujuan RUPS kepada Direksi; dan (2) bagaimana kekuatan hukum mengikatnya klausula-klausula perjanjian kerja bersama (“PKB”) yang telah disepakati sebelum terbitnya Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: Per-01 /MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara (Permeneg BUMN Nomor Per-01/MBU/2011). Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, dapat kami jelaskan sebagai berikut:

     

    1.        Dalam Pasal 98 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (“UU No. 40/2007”), disebutkan bahwa kewenangan Direksi untuk mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, (pada dasarnya) tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang, anggaran dasar atau Keputusan RUPS. Kemudian khusus bagi perusahaan milik negara (State Owned Corporation) ketentuan tersebut dipertegas dalam Pasal 22 ayat (2) jo Pasal 24 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU No. 19/2003”), bahwa Direksi wajib menyampaikan rencana kerja dan anggaran perusahaan kepada RUPS untuk memperoleh pengesahan. Ketentuan mengenai rencana kerja dan anggaran perusahaan tersebut diatur dengan Keputusan Menteri BUMN.

    KLINIK TERKAIT

    Aturan Besaran THR Direksi BUMN

    Aturan Besaran THR Direksi BUMN

     

    Atas dasar Pasal 98 ayat (3) UU No. 40/2007 dan Pasal 22 ayat (2) jo Pasal 24 UU No. 19/2003 tersebut, sah-sah saja Menteri BUMN (baik selaku RUPS/Pemegang Saham, maupun selaku regulator) mengatur dan mengendalikan hal-hal yang berkenaan dengan budget plan suatu BUMN, khususnya mengenai alokasi anggaran perusahaan (cq. anggaran tahunan), termasuk alokasi anggaran untuk biaya SDM (labour cost, dalam hal ini: penghasilan karyawan yang tidak diwajibkan oleh atau melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan).

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Dengan demikian, adanya pengaturan dalam Pasal 39 Permeneg BUMN Nomor Per-01/MBU/2011, berarti ada pembatasan kewenangan Direksi sebagai pengecualian dari Pasal 98 ayat (3) UU No. 40/2007. Dengan perkataan lain, Direksi tidak diberikan kewenangan (secara penuh) untuk membuat kesepakatan tertentu, dalam hal ini substansi PKB berkenaan dengan biaya SDM (penghasilan karyawan) sebelum memperoleh persetujuan dari RUPS.

     

    Bentuk  (konkret) persetujuan RUPS kepada Direksi mengenai besaran “penghasilan karyawan”, sangat bergantung pada kebiasaan yang diterapkan di masing-masing BUMN bersangkutan. Artinya, tidak ada format tertentu. Yang jelas, harus diputuskan dalam forum Rapat Umum Pemegang Saham dan dibuat dalam bentuk (legal formal-nya) tertulis yang dijawab dan disampaikan secara resmi untuk memudahkan pembuktian.

     

    2.        Perjanjian Kerja Bersama adalah salah satu bentuk kontrak atau perjanjian (contract, agreement) yang merupakan hasil perundingan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Trade Union) dengan Pengusaha (Board of Management) yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak (vide Pasal 116 ayat [1] jo Pasal 1 angka 21 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan/”UU No. 13/2003”)

     

    Karena PKB adalah perjanjian, maka tentunya tunduk pada prinsip-prinsip Hukum Perjanjian pada umumnya -sepanjang tidak diatur khusus dalam UU Keenagakerjaan-. Salah satu syarat utama untuk sahnya suatu perjanjian, adalah adanya sepakat (consensus) mereka yang mengikatkan dirinya atau pacta sun servanda (Pasal 1338 dan Pasal 1320 poin 1 jo Pasal 1321 dan Pasal 1324 BW).

     

    Terkait dengan itu, berdasarkan asas konsensualisme, bahwa perikatan dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan (saat adanya konsensus). Artinya, apa yang diperjanjikan itu sudah mengikat sejak terjadinya konsensus. Namun menurut Prof. Subekti, S.H., untuk beberapa macam perjanjian, asas konsensualisme ini tidak serta-merta langsung dapat mengikat para pihak seketika itu, akan tetapi masih diperlukan formalitas-formalitas tertentu, misalnya pada perjanjian hibah, diperlukan (pembuatan) akta notaril/akta PPAT, perjanjian perdamaian harus dibuat tertulis (vormvrij) dan ditanda-tangani oleh para pihak (Prof.Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, 1996, hal. 15, vide Pasal 1682 dan Pasal 1851 BW).

     

    Demikian halnya dengan PKB, walaupun telah disepakati beberapa substansi (secara bertahap), akan tetapi untuk dapat mengikat, masih diperlukan formalitas-formalitas berikutnya, yakni harus dituangkan dalam suatu dokumen (tertulis) dan ditanda-tangani oleh para pihak yang bersangkutan yakni pihak Union dan Management (Pasal 132 ayat (1) UU No. 13/2003). Bahkan sering dibuat klausula, bahwa berlakunya PKB sejak (setelah) mendapat bukti pendaftaran dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Pasal 132 ayat [2] UU No. 13/2003). Dengan demikian, kalau PKB di perusahaan Saudara berlarut-larut dan belum ditanda-tangan para pihak serta belum dilakukan pendaftaran, maka hemat kami klausula (substansi) yang pernah disepakati sifatnya belum mengikat.

     

    Demikian pendapat kami, semoga dapat difahami.

     

     

    Dasar hukum:

    1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

    2.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

    3.      Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

    4.      Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas

    5.      Peraturan Menteri Negara BUMN No. Per-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara

     

      

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Jika Polisi Menolak Laporan Masyarakat, Lakukan Ini

    15 Jan 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!