Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Menikahi Anak dari Mantan Paman, Bolehkah?

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Menikahi Anak dari Mantan Paman, Bolehkah?

Menikahi Anak dari Mantan Paman, Bolehkah?
Togar Julio Parhusip, S.H.Hotma Sitompoel and Associates
Hotma Sitompoel and Associates
Bacaan 10 Menit
Menikahi Anak dari Mantan Paman, Bolehkah?

PERTANYAAN

Saya ada pertanyaan, tante saya (adik ibu saya) menikah dengan seorang laki-laki dan mempunyai anak. Tapi hubungan pernikahan tante saya berakhir, dan laki-laki tersebut telah menikah dengan wanita lain dan mempunyai anak. Pertanyaannya, apakah saya bisa menikahi anak dari laki-laki tersebut dengan istri barunya? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Dalam hukum di Indonesia, aturan larangan perkawinan tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan perubahannya, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

    Lalu, apakah berdasarkan aturan larangan perkawinan tersebut pernikahan antara Anda dengan anak dari mantan paman dilarang secara hukum?

    Penjelasan lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Sebelumnya kami tidak mengetahui apakah Anda laki-laki atau perempuan, maka kami asumsikan Anda adalah laki-laki.

    KLINIK TERKAIT

    Benarkah Pernikahan Katolik Tidak Bisa Cerai?

    Benarkah Pernikahan Katolik Tidak Bisa Cerai?

    Aturan umum mengenai perkawinan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan perubahannya, di mana terkait larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 UU Perkawinan:

    Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
    1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
    2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
    3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
    4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
    5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
    6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

    Sementara itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) juga mengatur tentang larangan perkawinan:

    Pasal 30 KUH Perdata 

    Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah atau tidak sah.

     

    Pasal 31 KUH Perdata

    Juga dilarang perkawinan:

    1. antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain.
    2. antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan laki-laki kemenakan,  yang sah atau tak sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.

    Khusus bagi yang beragama Islam, larangan perkawinan diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), di mana Pasal 39 KHI, yang menyatakan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:

    1. Karena pertalian nasab:
      1. dengan seorang wanita yang melahirkan atau menurunkannya atau keturunannya;
      2. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
      3. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
    2. Karena pertalian kerabat semenda:
      1. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
      2. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
      3. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
      4. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
    3. Karena pertalian sesusuan:
      1. dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
      2. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
      3. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;
      4. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
      5. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

     

    Menyambung pertanyaan Anda, kami mengasumsikan pertanyaan tersebut mengarah pada perkawinan  dengan saudara yang tidak memiliki hubungan darah. Mengenai hal ini, sebelumnya pernah kami ulas serupa dalam Bolehkah Menikahi Anak dari Sepupu Ibu?

    Jika mengacu pada Pasal 8  UU Perkawinan dan Pasal 39 KHI sebagaimana telah dijelaskan di atas memang tidak ada yang melarang perkawinan dengan saudara yang tidak memiliki hubungan darah.

    Sehingga menjawab pertanyaan Anda, perkawinan di sini berarti antara Anda seorang anak (kami asumsikan laki-laki) yang ibunya memiliki adik perempuan (tante). Kemudian tante menikah dengan seorang laki-laki (paman), tapi sayangnya mereka bercerai. Lalu si mantan paman ini menikah lagi dengan perempuan lain dan memiliki seorang anak (kami asumsikan perempuan).

    Apakah anak perempuan tersebut dapat menikah dengan Anda? Jawabannya adalah boleh karena tidak ada larangan menurut hukum di Indonesia.

    Namun tetap perlu diperhatikan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.[1] Dikarenakan Anda tidak menyebutkan agama Anda dan calon istri, maka Anda perlu menelusuri kembali aturan larangan perkawinan dalam agama yang dianut. Apalagi berbagai macam adat istiadat dan suku di Indonesia juga jadi acuan pelaksanaan perkawinan itu.

    Jadi secara hukum, memang tidak dilarang perkawinan yang dimaksud. Tetapi baik secara aturan adat istiadat, ada beberapa yang memang tidak memperbolehkan perkawinan ini, apalagi ada latar belakang keluarga yang sebelumnya telah memiliki hubungan sebagai paman dan keponakan. Namun, secara hukum Anda boleh melangsungkan perkawinan tersebut.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

    [1] Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan

    Tags

    khi
    pernikahan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA

    17 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!