KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pemeriksaan Saksi di Tingkat Penyidikan dan di Pengadilan

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Pemeriksaan Saksi di Tingkat Penyidikan dan di Pengadilan

Pemeriksaan Saksi di Tingkat Penyidikan dan di Pengadilan
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pemeriksaan Saksi di Tingkat Penyidikan dan di Pengadilan

PERTANYAAN

Apakah saksi fakta dalam suatu kasus pidana harus diperiksa atau memberi kesaksian terlebih dahulu di tingkat penyidikan dan setelah itu baru memberikan kesaksian di pengadilan? Bagaimana pengaturannya menurut KUHAP dan di mana dasar hukumnya? Bagaimana pula praktik hukum yang berlangsung di lapangan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Saksi Fakta yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 25 Oktober 2010.

     

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Definisi Saksi Mahkota

    Definisi Saksi Mahkota

     

     

    Dalam hal ada saksi yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.

     

    Jadi, meskipun ada saksi yang tidak diperiksa di tingkat penyidikan, namun kemudian diajukan pada saat sidang berlangsung atau sebelum putusan, hal tersebut diperbolehkan.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Keterangan Saksi

    Keterangan saksi merupakan alat bukti sah yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).

     

    Yang dimaksud dengan saksi, menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

     

    Pengertian tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diperluas menjadi termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

     

    Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.[1]

     

    Pemeriksaan Saksi di Tingkat Penyidikan

    Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.[2] Di tingkat penyidikan, pemeriksaan saksi harus dibuatkan berita acaranya.[3] Dasar hukum pemeriksaaan saksi di tingkat penyidikan adalah Pasal 112 KUHAP yang berbunyi:

     

    (1)  Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut;

    (2)  Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

     

    Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.[4]

     

    Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan. Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya. Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.[5]

     

    Pemeriksaan Saksi di Pengadilan

    Guna menyederhanakan jawaban kami, kami akan menjelaskan tentang pemeriksaan saksi di pengadilan dalam Acara Pemeriksaan Biasa.

     

    Hakim dalam menetapkan hari sidang memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan.[6] Pasal 159 KUHAP berbunyi:

     

    (1)  Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang.

    (2)  Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.

     

    Dalam hal ada saksi yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut. Hal ini tercantum dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP yang berbunyi:

     

    Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.

     

    Terkait pasal ini, Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia (hal. 242) menjelaskan bahwa yang pertama-tama didengar keterangannya sebagai saksi adalah korban. Kemungkinan urutan pemeriksaan saksi diserahkan kepada pertimbangan hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah ketentuan dalam pasal itu yang mengatakan bahwa saksi, baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.

     

    Hal serupa dijelaskan oleh Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 179) bahwa pemeriksaan dan pendengaran keterangan saksi dalam persidangan meliputi “seluruh saksi” yang tercantum dalam berkas pelimpahan perkara. Oleh karena itu, setiap saksi yang telah diperiksa oleh penyidik, dan saksi itu tercantum dalam pelimpahan berkas perkara, “wajib didengar keterangannya” di muka persidangan tanpa mempersoalkan apakah saksi tersebut memberatkan atau meringankan terdakwa.

     

    Yahya menambahkan, kewajiban ketua sidang untuk mendengar keterangan saksi tidak terbatas terhadap saksi-saksi yang telah tercantum dalam pelimpahan berkas perkara yang telah diperiksa oleh penyidik, tetapi meliputi seluruh saksi ”yang diajukan” oleh penuntut umum maupun oleh terdakwa atau penasihat hukum, di luar saksi-saksi yang telah tercantum dalam pelimpahan berkas perkara. Baik penuntut umum maupun terdakwa atau penasihat hukum berhak mengajukan saksi “tambahan” di samping saksi-saksi yan telah tercantum dalam pelimpahan berkas perkara. Ketua sidang tidak boleh menolak saksi-saksi tambahan yang diajukan penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum tanpa mempersoalkan apakah saksi tersebut memberatkan atau meringankan terdakwa.

     

    Jadi, jika ada saksi yang tidak diperiksa di tingkat penyidikan, namun kemudian diajukan pada saat sidang berlangsung atau sebelum putusan, hal tersebut diperbolehkan.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

     

    Referensi:

    1.    Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

    2.    Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.

     



    [1] Pasal 185 ayat (1) KUHAP

    [2] Pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP

    [3] Pasal 75 ayat (1) huruf h KUHAP

    [4] Pasal 113 KUHAP

    [5] Pasal 116 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP

    [6] Pasal 152  ayat (2) KUHAP

    Tags

    hukumonline
    pengadilan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    19 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!